Mana yang Lebih Serius? Ini Bedanya Isu Pemakzulan Gibran dengan Gus Dur

Ferry Noviandi Suara.Com
Senin, 14 Juli 2025 | 21:28 WIB
Mana yang Lebih Serius? Ini Bedanya Isu Pemakzulan Gibran dengan Gus Dur
Ini Bedanya isu pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dengan Gus Dur. (Wikipedia)

Suara.com - Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka masih jadi topik hangat di ruang publik dan media sosial.

Meskipun intensitasnya mulai menurun, isu ini tetap memancing perdebatan, khususnya menyangkut aspek etik dan konstitusional proses pencalonannya dalam Pemilu 2024.

Perdebatan mencuat usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuka celah bagi Gibran untuk mencalonkan diri.

Sebagaimana diketahui, putra sulung mantan presiden Joko Widodo tersebut belum genap berusia 40 tahun saat maju kontestasi.

Kontroversi makin dalam ketika terungkap bahwa Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah paman Gibran dan akhirnya diberhentikan karena pelanggaran etik.

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. (ist)
Belakangan ramai wacana pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. (ist)

Kelompok masyarakat sipil dan purnawirawan, seperti Forum Purnawirawan TNI, menyerukan pemakzulan. Namun, langkah tersebut masih terbentur hambatan politik dan hukum.

Lantas, bagaimana isu ini jika dibandingkan dengan pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada tahun 2001? Berikut lima perbedaan utamanya.

1. Jabatan yang Dipersoalkan

Gibran menjabat sebagai wakil presiden, yang secara konstitusi berada di bawah presiden dan tidak memiliki kekuasaan eksekutif utama.

Baca Juga: Respons Andreas PDIP Usai Jokowi Merasa Ada Agenda Besar di Balik Isu Ijazah dan Pemakzulan Gibran

Ini membuat urgensi dan dampak politik dari pemakzulan terhadapnya berbeda.

Berbeda dari Gibran, Gus Dur adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Oleh karena itu, pemakzulan terhadapnya berdampak langsung terhadap kepemimpinan nasional.

Potret mendiang KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (YouTube/tvOneNews)
Potret mendiang KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (YouTube/tvOneNews)

2. Pemicu Pemakzulan

Isu pemakzulan Gibran didasarkan pada dugaan pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam putusan MK yang memuluskan jalan pencalonannya.

Tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan setelah kakak Kaesang Pangarap ini menjabat.

Sebaliknya, Gus Dur menghadapi dua skandal besar yakni Buloggate dan Bruneigate.

Keduanya terkait dugaan penyalahgunaan dana negara dan kontribusi keuangan asing tanpa transparansi.

Selain itu, kebijakan-kebijakan Gus Dur yang dianggap inkonsisten ikut memperparah ketegangan dengan DPR.

3. Jalannya Proses Pemakzulan

Sejauh ini, DPR belum memproses secara formal petisi pemakzulan Gibran Rakabuming Raka.

Ketua DPR, Puan Maharani menyebut baru akan menindaklanjuti jika surat resmi diterima.

Lemhannas pun menyatakan pemakzulan tak relevan karena Gibran terpilih secara sah.

Sebaliknya, pemakzulan Gus Dur melalui prosedur yang jelas yaitu diawali oleh Memorandum I dan II DPR.

Lalu diadakan Sidang Istimewa MPR pada Juli 2001 yang berujung pada pemecatan dirinya sebagai presiden.

4. Dukungan Politik

Isu Gibran lebih banyak didorong oleh kelompok masyarakat sipil, aktivis, dan purnawirawan.

Elite politik dan partai besar belum menunjukkan dukungan serius untuk mencopot jabatan Gibran.

Berbeda dengan Gus Dur yang saat itu ditinggalkan oleh sebagian besar fraksi DPR dan MPR, termasuk dari partai-partai pendukungnya sendiri.

Konsensus elite membuat proses pemakzulan Gus Dur menjadi tidak terelakkan.

5. Dasar Hukum Pemakzulan

Saat ini, pemakzulan diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen yang lebih spesifik.

Pasal-pasalnya mengatur bahwa pejabat negara hanya bisa dimakzulkan jika terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya.

Karena tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan Gibran, pemakzulan sulit diproses.

Di sisi lain, pada era Gus Dur, dasar hukum pemakzulan masih bersifat karet dan subjektif.

Tuduhan "tidak menjalankan haluan negara" sudah cukup menjadi alasan untuk pemberhentiannya oleh MPR.

Dengan demikian, isu pemakzulan Gibran tampaknya akan sulit berlanjut ke tahap konstitusional karena tidak memenuhi syarat hukum yang tegas dan tidak didukung oleh kekuatan politik besar.

Berbeda dengan pemakzulan Gus Dur yang terjadi dalam konteks krisis kepercayaan nasional, skandal hukum, serta konsolidasi kekuatan parlemen yang solid.

Kontributor : Chusnul Chotimah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI