Suara.com - Penyebab kematian diplomat muda, Arya Daru Pangayunan, masih diselubungi misteri. Sejumlah spekulasi menyeruak ke publik. Mulai dari dugaan bunuh diri hingga dibunuh.
Aparat kepolisian sendiri kini masih terus melakukan penyelidikan untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi terhadap Arya Daru Pangayunan.
Untuk mengungkap kasus ini, polisi menggunakan metode scientific investigation atau investigasi ilmiah. Cara ini pernah digunakan penyidik Polri kala mengungkap kasus kopi sianida.
"Sesuai dengan yang disampaikan oleh Bapak Kapolda, kasus ini akan diungkap secara scientific investigation. Jadi kita menunggu, penyelidik menunggu semua keterangan, nanti baru kita sampaikan hasilnya," ujar AKBP Reonald Simanjuntak selaku Kasubbid Penmas Bidhumas Polda Metro Jaya.
Lalu apa itu Scientific Investigation?
Bagi para penegak hukum modern, Metode Investigasi Ilmiah (Scientific Investigation Method) adalah kitab suci. Ia adalah pembeda antara tuduhan yang didasarkan pada spekulasi dan dakwaan yang dibangun di atas pondasi bukti yang tak terbantahkan.
Dalam dunia yang penuh dengan alibi palsu, keterangan yang berbelit-belit, dan emosi yang meluap-luap, metode ilmiah menjadi jangkar yang menambatkan penyelidikan pada realitas objektif.
Ini bukanlah tentang intuisi seorang detektif jenius, melainkan tentang proses. Sebuah proses yang dirancang untuk membongkar kebenaran, selapis demi selapis, hingga tidak ada lagi ruang untuk keraguan.
Mari kita bedah bagaimana metode ini diaplikasikan dalam dunia nyata untuk mengungkap kasus kriminal paling rumit sekalipun.
Baca Juga: Sepekan Berlalu, Ini 4 Teka-teki Kematian Arya Daru yang Masih Misterius
Langkah 1: Observasi Kritis di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
Semuanya dimulai di sini. Begitu TKP diamankan, langkah pertama adalah observasi murni, tanpa prasangka.
Tim investigator tidak datang dengan asumsi "siapa pelakunya", melainkan dengan pertanyaan fundamental: "Apa yang terjadi di sini?" Mereka mencatat segalanya: posisi korban, letak benda-benda, suhu ruangan, bau yang tercium, hingga jejak kaki yang samar.
Setiap detail adalah data. Pintu yang rusak menandakan adanya paksaan. Gelas yang masih berisi minuman menandakan kemungkinan adanya tamu. Tidak adanya barang berharga yang hilang bisa mengesampingkan motif perampokan.
Observasi awal ini adalah fondasi dari seluruh investigasi. Kesalahan atau kelalaian di tahap ini bisa meruntuhkan seluruh bangunan kasus di kemudian hari.
Langkah 2: Pengumpulan Bukti dan Informasi (Background Research)
Setelah observasi, dimulailah tahap pengumpulan bukti fisik dan informasi secara sistematis. Ini adalah fase di mana teknologi forensik berperan besar.
Tim akan mengumpulkan:
- Bukti Biologis: Sampel darah, rambut, air liur (DNA).
- Bukti Laten: Sidik jari di permukaan benda, jejak sepatu.
- Bukti Senjata: Proyektil peluru, selongsong, atau senjata tajam.
- Bukti Digital: Rekaman CCTV, data dari ponsel atau laptop korban/saksi.
Secara paralel, tim detektif akan melakukan riset latar belakang: mewawancarai saksi mata, keluarga, dan rekan korban untuk membangun profil korban, mencari tahu potensi musuh, dan memahami konteks sosialnya.
Langkah 3: Membangun Hipotesis Kriminal (Constructing a Hypothesis)
Berdasarkan observasi dan bukti awal, investigator mulai merumuskan beberapa hipotesis atau teori tentatif tentang apa yang terjadi.
Sebuah hipotesis kriminal haruslah spesifik dan bisa diuji. Contohnya:
Hipotesis A: Korban dibunuh oleh rekan bisnisnya karena sengketa utang.
Hipotesis B: Korban adalah korban perampokan yang salah sasaran.
Hipotesis C: Kematian korban adalah akibat bunuh diri yang direkayasa agar terlihat seperti pembunuhan.
"Sebuah hipotesis dalam kasus kriminal bukanlah tuduhan, melainkan sebuah peta jalan untuk pengujian. Tanpa hipotesis yang bisa diuji, penyelidik hanya akan tersesat dalam lautan informasi," jelas seorang kriminolog.
Langkah 4: Uji Forensik dan Verifikasi (Testing the Hypothesis)
Inilah fase di mana laboratorium menjadi pusatnya. Setiap hipotesis diuji dengan bukti yang ada.
Untuk menguji Hipotesis A: Apakah DNA atau sidik jari rekan bisnis ditemukan di TKP? Apakah ada catatan transaksi keuangan yang mencurigakan? Apakah alibi rekan bisnis tersebut valid?
Untuk menguji Hipotesis B: Apakah ada tanda-tanda masuk paksa? Apakah barang-barang berharga benar-benar hilang? Apakah ada jejak orang asing di sekitar TKP?
Untuk menguji Hipotesis C: Apakah analisis forensik pada luka sesuai dengan tindakan bunuh diri? Apakah ada surat wasiat atau riwayat depresi?
Setiap hasil tes—baik itu positif maupun negatif—adalah kemajuan. Jika DNA di TKP tidak cocok dengan rekan bisnis, maka Hipotesis A melemah. Jika alibi rekan bisnis terbukti palsu melalui rekaman CCTV, maka Hipotesis A menguat.
Langkah 5: Analisis Data dan Rekonstruksi Kejadian (Analysis and Conclusion)
Setelah semua pengujian selesai, investigator mengumpulkan semua potongan puzzle yang telah terverifikasi. Mereka menganalisis data secara keseluruhan, mengeliminasi hipotesis yang telah terbantahkan, dan membangun satu narasi yang paling konsisten dengan semua bukti yang ada.
Proses ini seringkali berujung pada rekonstruksi kejadian, di mana mereka mencoba menyusun kembali kronologi peristiwa dari menit ke menit berdasarkan bukti fisik dan keterangan saksi yang valid.
Kesimpulan yang ditarik bukanlah opini, melainkan deduksi logis dari serangkaian fakta yang telah teruji.
Langkah 6: Presentasi dan Pembuktian di Pengadilan (Peer Review/Communication)
Tahap akhir dari metode ilmiah ini adalah presentasi di ruang sidang. Di sinilah seluruh proses investigasi dipertaruhkan.
Jaksa penuntut umum (sebagai "ilmuwan utama") akan memaparkan semua bukti, hasil tes forensik, dan kesimpulan logis kepada hakim dan juri (sebagai "dewan peninjau").
Ahli forensik akan memberikan kesaksian untuk menjelaskan validitas metode mereka. Pihak pembela akan mencoba mencari celah atau kelemahan dalam investigasi tersebut.
Jika metode investigasi ilmiah telah dijalankan dengan benar, bukti yang disajikan akan cukup kuat untuk membuktikan kesalahan terdakwa "di luar keraguan yang beralasan" (beyond a reasonable doubt)