Suara.com - Dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang oleh isu klasik yang tak kunjung usai: praktik percaloan selama masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Sebuah kisah yang baru-baru ini viral di media sosial Instagram menyoroti betapa rentannya sistem ini untuk dieksploitasi.
Dalam unggahan tersebut, terungkap adanya dugaan oknum tidak bertanggung jawab yang meminta uang sebesar Rp200 ribu kepada orang tua siswa dengan iming-iming kelancaran proses pendaftaran.
Iming-iming itu justru menjadikan seorang siswa yang diketahui bernama Ikra tak bisa sekolah. Ia mendaftar di SMPN 1 Manado yang merupakan sekolah favorit namun namanya ditolak sistem.
Ibunya mencarikan sekolah lain namun semua menutup pintu. Alasannya nama Ikra masih terdaftar di sekolah lain yang di mana sekolah sebelumnya tak meloloskan anak tersebut.
Meski nominalnya terdengar kecil, insiden ini membuka kotak pandora mengenai masalah yang lebih besar dan sistemik.
Praktik ini diduga menjadi pintu masuk bagi modus penipuan yang lebih terorganisir.
Berdasarkan penelusuran dari berbagai laporan media terverifikasi, modus serupa kerap terjadi di berbagai daerah.
Oknum calo biasanya menyasar orang tua yang cemas dan bingung dengan alur pendaftaran online, atau mereka yang anaknya tidak lolos seleksi jalur resmi.
Baca Juga: MPLS Ramah Dukung Lingkungan Pendidikan yang Inklusif untuk Semua Anak
Mereka menawarkan "jalan pintas" atau "kursi titipan" dengan tarif bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
Dalam kasus yang viral ini, belum ada konfirmasi resmi apakah korban telah melayangkan laporan kepada pihak kepolisian.
Namun, fenomena ini bukanlah hal baru. Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) di berbagai daerah secara rutin menerima laporan terkait pungli di sektor pendidikan.
Modusnya beragam, mulai dari penjualan seragam yang dipaksakan, uang bangunan, hingga biaya "sumbangan" yang pada dasarnya adalah syarat tak tertulis untuk diterima.
Dugaan penipuan ini menciptakan sebuah "pasar gelap" dalam seleksi siswa, mengkhianati prinsip keadilan dan meritokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pendidikan.
Orang tua seolah dihadapkan pada pilihan sulit: menolak dan berisiko kehilangan kesempatan, atau membayar demi masa depan anak mereka.