Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat lonjakan kasus penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan kepada masyarakat sipil sepanjang tahun 2025. Setidaknya terdapat 66 peristiwa kekerasan, dengan total 139 korban, termasuk 46 anak-anak.
“Angka yang sangat tinggi yang kami bisa klaim di awal,” ujar Staf Divisi Hukum KontraS, M. Yahya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Meski demikian, Yahya tidak menutup kemungkinan jumlah sesungguhnya lebih tinggi. Sebab, data tersebut dihimpun berdasarkan pantauan pemberitaan media massa serta laporan dari jaringan KontraS di berbagai daerah.
"Ada kemungkinan bahwa angka yang kami dapat ini sebetulnya bisa lebih tinggi dari apa yang kami sampaikan," katanya.
Dalam laporan KontraS itu, kepolisian menjadi institusi yang paling banyak dilaporkan sebagai pelaku tindak penyiksaan. Kemudian disusul oleh TNI yang juga tercatat beberapa kali lakukan penyiksaan terhadap masyarakat sipil.
"Dari 66 peristiwa tersebut, polisi menempati peringkat pertama sebagai institusi yang paling banyak melakukan tindak penyiksaan, yaitu terdapat sekitar 36 peristiwa. Di peringkat kedua disusul oleh TNI, terdapat sekitar 23 peristiwa yang dilakukan oleh TNI terhadap masyarakat sipil dalam konteks tindak penyiksaan," ungkapnya.
Ia menyoroti rendahnya akuntabilitas hukum terhadap aparat kemanan yang terlibat dalam pelanggaran tersebut.
"Dalam hal ini, saya ingin menyampaikan bahwa kami, dari Kontras, selalu menyampaikan pesimistis dalam proses penyidikan hukum yang dilakukan oleh oknum peradilan TNI yang melakukan tindak pidana. Karena mayoritas dari mereka akan diadili di peradilan militer," ucapnya.
Menurutnya, sistem peradilan militer kerap gagal memberikan efek jera karena prosesnya yang tertutup dan vonis yang ringan.
Baca Juga: Bukan Orang Sembarangan, Profil Kusuma Anggraini yang Tuding Iris Wullur Jadi Selingkuhan Suaminya
"Kami selalu menyampaikan, peradilan militer selalu gagal dalam melakukan proses pendidikan hukum. Karena prosesnya yang dijalankan secara tertutup dan ponis yang diberikan itu cenderung ringan," kritiknya.
KontraS mendesak adanya evaluasi terhadap praktik penyiksaan oleh aparat, serta pembenahan sistem hukum, terutama dalam hal penanganan perkara pidana oleh anggota militer.