Suara.com - Pemerintah Indonesia membantah anggapan bahwa kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat bersifat timpang dan tidak menguntungkan.
Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menepis tudingan tersebut dengan menegaskan bahwa penilaian terhadap kesetaraan perjanjian dagang tidak bisa disederhanakan hanya dari perbandingan angka tarif semata.
"Makanya cara ngitungnya enggak gitu. Produk Amerika yang masuk ke Indonesia itu apa yang nol persen? Itu saja dilihat. Karena selama ini juga banyak yang nol persen seperti kedelai, gandum, kan nol persen. Jadi dilihat dari jenis-jenis produknya," tegas Havas saat diwawancarai di Jakarta Selatan, Sabtu, 19 Juli 2025.
Menurutnya, pendekatan yang digunakan dalam mengevaluasi perjanjian perdagangan harus didasarkan pada detil produk, bukan hitung-hitungan umum.
Ia bahkan mengklaim bahwa tarif AS terhadap produk Indonesia termasuk yang paling rendah di antara negara ASEAN lainnya.
"Jadi harus dilihat dari jenis produknya. Jadi nggak bisa hitam putih seperti itu. Assessment-nya itu harus detail. Karena kita bicara mengenai balance sheet. Mengenai angka perdagangan dengan produk yang seperti apa," lanjutnya.
Havas menilai bahwa banyak dari produk Amerika yang masuk ke Indonesia tidak bersinggungan langsung dengan komoditas ekspor unggulan RI.
“Ya ikan asin Amerika enggak produksi kan? Kita kan justru ekspor ikan ke sana. Jadi you have to look at the products. Untuk mengatakan ini fair atau enggak fair,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Bisa dikatakan tidak fair kalau misalnya, kita mengekspor kedelai ke Amerika Serikat kena 19 persen. Dan Amerika mengekspor kedelai ke Indonesia kena nol persen. Nah itu baru enggak fair.”
Baca Juga: Dituding Tak Setara, Wamenlu Beberkan Hitungan di Balik Perjanjian Dagang dengan Amerika
Namun, pandangan itu tak diamini oleh kalangan akademisi.
Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, justru menilai bahwa kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS tahun 2025 secara jelas menunjukkan ketimpangan struktural.
"Mengapa Indonesia tidak menawarkan skema zero–zero—yaitu sama-sama menghapus tarif—dalam kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat? Pertanyaan ini sangat relevan diajukan dan membuka ruang kritik terhadap strategi diplomasi ekonomi pemerintah," kata Syafruddin saat dihubungi Suara.com, Rabu, 16 Juli 2025.
Menurutnya, prinsip “zero-zero” menjadi standar kesetaraan dalam praktik perdagangan global. Ketidakhadiran prinsip ini dalam kesepakatan Indonesia–AS, lanjutnya, menunjukkan lemahnya posisi tawar pemerintah Indonesia dalam proses negosiasi.
"Ketidakhadiran prinsip ini dalam kesepakatan Indonesia–AS tahun 2025 menandakan bahwa posisi Indonesia dalam perundingan tidak cukup kuat atau tidak digunakan secara maksimal," tegasnya.
Syafruddin menilai bahwa struktur perjanjian saat ini hanya menguntungkan Amerika Serikat. “AS mendapatkan akses penuh ke pasar Indonesia tanpa hambatan tarif sejenis. Lebih dari itu, Indonesia diwajibkan membeli energi, produk pertanian, dan pesawat dalam jumlah besar, yang secara langsung menyuburkan ekonomi AS,” ujarnya.