Suara.com - Para ilmuwan yang terlibat dalam perumusan aturan internasional mengenai penambangan laut dalam menyatakan kekhawatirannya terhadap kemampuan manusia memulihkan ekosistem laut dalam yang rusak.
Hingga kini, belum ada kepastian apakah pemulihan tersebut mungkin dilakukan, dan jika ya, berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Sebagai salah satu wilayah liar terakhir di Bumi, dasar laut kini menjadi incaran negara dan perusahaan swasta untuk mengeksplorasi sumber daya mineral penting seperti kobalt, nikel, tembaga, dan mangan.
Mineral ini dibutuhkan untuk menunjang teknologi energi baru, termasuk baterai kendaraan listrik.
![Ilustrasi laut dalam. [PublicDomainPictures/Pixabay]](https://media.suara.com/pictures/original/2021/04/29/79045-ilustrasi-laut-dalam.jpg)
Nodul polimetalik seukuran kentang yang kaya akan mineral tersebut ditemukan melimpah di dasar Samudra Pasifik tengah. Sejumlah perusahaan mengklaim bahwa penambangan nodul-nodul ini dapat dilakukan dengan dampak minimal terhadap lingkungan.
Namun, klaim ini dibantah oleh para ilmuwan dan pegiat konservasi laut.
"Jika kita menghilangkan nodul dari dasar laut, kita tidak tahu apa yang hilang, yang kita tahu hanyalah bahwa nodul itu hilang selamanya," demikian salah satu temuan dari proyek konservasi DEEP REST yang dipresentasikan di sela pertemuan Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA) di Kingston, Jamaika.
Para peneliti dalam proyek ini menegaskan bahwa sejauh ini, semua upaya restorasi yang mereka lakukan masih bersifat jangka pendek, dan belum menunjukkan hasil menggembirakan.
"Ekosistem tidak pulih dalam beberapa tahun," kata Jozee Sarrazin, peneliti dari Institut Ilmu Kelautan Prancis (Ifremer).
Baca Juga: Suara dari Tanah yang Terluka: Orang Muda Papua Menuju COP30
Koordinator DEEP REST juga menambahkan bahwa jika pun restorasi memungkinkan, "itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama, dan saat ini kami tidak memiliki data untuk mengatakan apakah itu akan memakan waktu 100 tahun atau 1.000 tahun."
Wilayah dasar laut yang diincar ini sebenarnya merupakan rumah bagi jutaan spesies laut, termasuk karang lunak, spons, dan anemon yang hanya bisa bertahan karena adanya nodul sebagai substrat tempat mereka menempel.
Studi MiningImpact yang dipresentasikan oleh Matthias Haeckel dari pusat riset GEOMAR Jerman menegaskan bahwa aktivitas penyedotan nodul serta penyebaran sedimen menyebabkan turunnya populasi, keragaman hayati, dan fungsi ekosistem.
"Singkatnya, pada akhirnya kita berbicara tentang masa pemulihan ribuan tahun," ujarnya.
Sejumlah eksperimen dengan nodul buatan sedang dilakukan, namun hasilnya belum diketahui.
"Kami menempatkan nodul buatan dari tanah liat laut dalam di beberapa lokasi pada kedalaman 4.500 meter," ujar Sabine Gollner, ahli biologi dari Royal Netherlands Institute for Sea Research.