Suara.com - Indonesia saat ini menjadi negara yang memiliki pengaruh besar industri nikel dunia, di mana komoditas ini dikenal sebagai kunci dari pengembangan kendaraan listrik (EV) dan transisi energi.
Dengan menguasai lebih dari separuh produksi nikel dunia, posisi Indonesia seharusnya tak tergoyahkan. Namun, di balik narasi kemajuan ekonomi dan hilirisasi yang digaungkan, potensi ini juga memiliki risiko yang cukup signifikan. Mulai dari dampak lingkungan hingga isu sosial.
Dalam wawancara eksklusif Suara.com dengan, Agus Sari, CEO Landscape Indonesia (PT Bentang Alam Indonesia), seorang ahli dalam pengelolaan lanskap berkelanjutan, membedah secara tajam dilema yang dihadapi bangsa ini.
Menurutnya, tanpa perubahan fundamental menuju praktik berkelanjutan, dominasi Indonesia di pasar nikel bisa jadi hanya sementara. Agus Sari mengakui peran sentral nikel Indonesia sebagai bahan baku utama baterai dan peralatan elektronik. Namun, ia memberi peringatan keras agar tidak terlena.
"Walaupun Indonesia menguasai kandungan dan produksi nikel dunia, belum tentu Indonesia bisa memonopoli," tegas Agus, kepada Suara.com pada Minggu (13/7/2025).
Ia menyoroti munculnya teknologi baterai alternatif yang tidak bergantung pada nikel, seperti baterai LFP (Lithium Ferro-Phosphate) yang kini banyak digunakan oleh produsen EV global seperti Tesla untuk model standar mereka.
Ancaman substitusi ini nyata. Jika industri nikel Indonesia tidak mampu berkembang dan berkelanjutan, pasar global tidak akan ragu untuk beralih ke material atau produsen lain yang lebih bertanggung jawab.
Salah satu kritik paling tajam terhadap industri nikel adalah dampak lingkungannya. Agus Sari menyebut nikel sebagai komoditas baru yang pengembangannya terlalu fokus pada ‘produksi, pendapatan, dan pertumbuhan,’ sementara aspek sosial dan lingkungan kurang diperhatikan.
Namun demikian, Indonesia patut berbangga karena industri nikel dalam negeri tidak bergantung pada industri kendaraan listrik.
Baca Juga: Ketika Masa Depan PSI Ditentukan oleh Keluarga Jokowi
Nikel Indonesia, khususnya dalam bentuk feronikel, memiliki peran penting dalam produksi stainless steel. Feronikel adalah paduan besi dan nikel, dengan kadar nikel sekitar 20-40%, yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan stainless steel.
Indonesia merupakan salah satu negara produsen nikel terbesar di dunia, dan bijih nikel laterit yang banyak ditemukan di Indonesia menjadi bahan baku utama dalam produksi feronikel.
Dengan potensi Indonesia sebagai negara dengan produsen nikel terbesar di dunia, tentu pengembangan industri nikel jauh lebih luas, tidak hanya terbatas pada kendaraan listrik saja.
Pada tahun 2023, Indonesia menghasilkan 1,8 juta metrik ton nikel, yang merupakan sekitar 50% dari total pasokan nikel dunia.
Selain Indonesia, Filipina dan Rusia juga merupakan produsen nikel yang signifikan. Kekayaan alam ini didukung stok besar, di mana Indonesia Memiliki cadangan nikel terbesar dan juga menjadi produsen nikel terbesar di dunia. Pada tahun 2024, produksi nikel Indonesia mencapai 2,2 juta metrik ton. Mengalahkan Filipina, Rusia, hingga Australia.
Jalan Menuju Keberlanjutan: 'Race to the Top'