Bukan Barak Militer Ala Dedi Mulyadi, Ini Jurus Rahasia Anies Baswedan untuk Mendidik 'Anak Nakal'

Bella Suara.Com
Senin, 21 Juli 2025 | 17:00 WIB
Bukan Barak Militer Ala Dedi Mulyadi, Ini Jurus Rahasia Anies Baswedan untuk Mendidik 'Anak Nakal'
Anies Baswedan. (Foto dok. Ist)

Suara.com - Perdebatan mengenai cara paling efektif untuk mendidik anak yang dianggap "nakal" kembali mencuat.

Di tengah berbagai usulan, mulai dari pendekatan disiplin keras hingga memasukkan anak ke barak militer ala Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, mantan Gubernur DKI Jakarta sekaligus mantan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan, menawarkan perspektif yang berbeda.

Dalam sebuah perbincangan santai di podcast bersama komedian Tretan Muslim, Anies membagikan pengalaman pribadinya yang membentuk filosofi pendidikannya: solusi datang dari pemahaman akar masalah, bukan sekadar hukuman.

Anies memulai dengan mengkritik penyederhanaan masalah pada label "anak nakal".

Menurutnya, perilaku seorang anak adalah hasil dari ekosistem yang kompleks, melibatkan pola asuh di rumah, sistem pendidikan di sekolah, hingga pengaruh lingkungan sekitar.

"Jadi gini ya waktu kita bilang anak nakal. Anak nakal itu kan menyederhanakan (istilah) ya. Anak (yang disebut nakal) ini berperilaku tidak sesuai dengan harapan. Kenapa itu terjadi? Apakah karena anak itu saja atau karena pola asuh orang tua? Atau karena pola-pola asuh di sekolah atau karena lingkungan?" ungkap Anies.

Ia berpendapat bahwa menghukum anak dengan memindahkannya ke tempat seperti barak militer tidak akan menyelesaikan masalah jika faktor-faktor penyebabnya tidak dikoreksi.

"Begitu kita mengambil anak itu dipindahkan ke tempat lain, kita tidak mengkoreksi problem yang membuat anak ini terjadi begini," tambahnya.

Pengalaman Pribadi: Dari Idola Muhammad Ali Menjadi Kutu Buku

Untuk memberikan gambaran nyata, Anies menceritakan pengalamannya sendiri saat masih kecil.

Baca Juga: Permendikdasmen No 13 Tahun 2025: Pedoman Kurikulum, Koding dan AI untuk Siswa

Mengidolakan petinju legendaris Muhammad Ali, Anies kecil kerap terlibat perkelahian hingga membuat orang tuanya pusing dan sering dipanggil pihak sekolah.

Puncaknya adalah ketika ia memukul seorang teman hingga mimisan, sebuah kejadian yang membuatnya merasa panik.

Menghadapi situasi ini, orang tuanya tidak memilih jalan pintas dengan hukuman fisik atau mengirimnya ke tempat pendidikan keras.

Sebaliknya, mereka mencari solusi kreatif yang berakar pada pendidikan.

Anies, yang saat itu sangat gemar bersepeda, mendapat sebuah aturan baru.

"Bapak ibu saya ini bilang, 'Anis, naik sepedanya cuma boleh di kampung.' Di kampung itu di jalan tanah. Enggak boleh ke jalan aspal," kenang Anies.

Namun, ada satu pengecualian.

"Tapi kalau mau ke jalan raya boleh, syaratnya perginya ke perpustakaan," katanya.

Perpustakaan yang dimaksud berjarak hampir 4 kilometer, yang berarti ia bisa menikmati bersepeda di jalan raya beraspal yang ia dambakan.

Awalnya, motivasi utamanya bukanlah membaca buku.

"Saya senang berangkat kalau sore itu pergi ke perpustakaan bukan karena mau baca buku, tapi karena mau bersepeda. Tapi nyampainya ke perpustakaan," jelasnya.

Secara otomatis, sesampainya di perpustakaan, ia mulai meminjam dan membaca buku.

Aktivitas sore harinya pun berubah. Ia tidak lagi menghabiskan waktu di lingkungan yang memicu perkelahian, seperti saat bermain kelereng atau berebut layangan.

Energinya yang meluap-luap tersalurkan ke kegiatan yang lebih positif.

"Apa yang terjadi? Saya enggak berantem sama anak-anak lain... Masalah itu terselesaikan. Dengan dilihat nih gimana nih caranya digeser nih. Dari energinya yang muncul menjadi konflik dengan kanan kiri. Energinya disalurkan jadi sepeda," papar Anies.

Pendekatan ini, menurutnya, adalah inti dari pendidikan sejati yang berlawanan dengan sekadar hukuman.

"Bapak enggak pernah bilang, 'Anis baca buku itu penting ya masa depan', enggak, enggak pernah ngomong begitu. Tapi Anda senangnya naik sepeda kan boleh tapi ke perustakaan," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI