Di Hadapan Komisi III, YLBHI Minta DPR Hapus Pasal yang Beri TNI Wewenang Menyidik Pidana Umum

Senin, 21 Juli 2025 | 22:18 WIB
Di Hadapan Komisi III, YLBHI Minta DPR Hapus Pasal yang Beri TNI Wewenang Menyidik Pidana Umum
Ilustrasi Rapat Komisi III DPR dengan sejumlah organisasi profesi advokat terkait Revisi KUHAP. [ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi]

Suara.com - Wacana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penyidik tindak pidana umum dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memicu penentangan keras dari masyarakat sipil.

Bahkan di hadapan Komisi III DPR, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) secara tegas memperingatkan bahwa pasal kontroversial ini berisiko membuka kembali kotak pandora 'Dwifungsi ABRI' dan mengacaukan seluruh sistem peradilan pidana di Indonesia.

Kritik tajam tersebut dilontarkan langsung oleh Ketua YLBHI, M Isnur, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/7/2025).

Fokus utama sorotan YLBHI terletak pada pasal dalam draf Revisi KUHAP yang memberikan kewenangan kepada TNI untuk menjadi penyidik dan melakukan upaya paksa pada kasus pidana umum.

"Di Pasal 7 ayat (5) nya, pasal 20 ayat (2) pun ini menurut kami membuka ruang bagi TNI untuk menjadi penyidik pada tindak pidana umum dan melakukan upaya paksa," kata Isnur dalam rapat tersebut.

Ancaman Dwifungsi

Isnur membedah bagaimana perubahan draf antara versi usulan DPR dan pemerintah justru memperluas kewenangan tersebut.

Ia menjelaskan, versi awal hanya memberi ruang terbatas bagi TNI Angkatan Laut, namun batasan itu kini telah dihilangkan.

"Pasal 87 ayat (4) dan 92 ayat (4) misalnya mengatur bagaimana penangkapan dan penahanan oleh penyidik, pada versi semula DPR Hanya menyantumkan frasa TNI laut ya, namun dalam dim versi pemerintah frasa angkatan laut tersebut dihapuskan," ungkapnya.

Baca Juga: Alarm di Senayan: YLBHI Peringatkan Lahirnya 'Polri Super Power' dalam Revisi KUHAP

Menurut YLBHI, penghapusan frasa ini memiliki implikasi yang sangat serius dan berbahaya bagi supremasi sipil.

"Menurut kami hal ini berbahaya akan mengembalikan praktik dwifungsi ABRI dan akan mengacaukan sistem peradilan pidana," sambung Isnur.

Ia memproyeksikan terjadinya dualisme penyidikan yang akan berdampak pada tumpang tindih kewenangan antara institusi.

Akibatnya, tidak akan ada jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi masyarakat.

"Pelibatan TNI di sini menurut kami sebagai penyidik kasus pidana umum potensial menormalisasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, pelanggaran ham bisa terjadi dalam urusan penangkapan penahanan penyitaan penggeledahan bahkan terhadap penetapan tersangka," tegasnya.

Atas dasar itu, YLBHI mendesak agar pasal tersebut dihapus seluruhnya dari draf revisi.

"Jadi menurut kami rekomendasinya apa? ini dihapus saja ketentuan TNI menjadi penyidik dan juga dihapus frasa penyidik utama di penyidik kepolisian," katanya.

Mustahil Penuhi Semua Aspirasi

Menanggapi gelombang kritik tersebut, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, angkat bicara beberapa hari sebelumnya.

Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan bahwa hingga saat ini Revisi KUHAP masih menungu masukan masyarakat sebelum ketuk palu. [Tangkapan layar]
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan bahwa hingga saat ini Revisi KUHAP masih menungu masukan masyarakat sebelum ketuk palu. [Tangkapan layar]

Ia menyatakan bahwa mustahil sebuah rancangan undang-undang dapat menyerap aspirasi dari seluruh elemen masyarakat secara penuh.

"Kami perlu tegaskan bahwa apa yang tersaji dalam draft RUU berasal dari apa yang disampaikan masyarakat kepada kami ditambah apa yang kami ketahui sendiri saat berjuang menjadi advokat publik selama belasan tahun," kata Habiburokhman dalam keterangannya, Rabu (16/7/2025).

Pernyataan ini merespons tudingan bahwa Komisi III tidak melibatkan ahli secara memadai dan hanya menjalankan partisipasi semu.

Habiburokhman menegaskan bahwa aspirasi publik seringkali tidak seragam.

"Namun demikian mustahil sebuah UU menyerap seluruh aspirasi dari seluruh elemen masyarakat. Sebab aspirasi masyarakat tidak sepenuhnya sama satu sama lain. Bahkan aspirasi Ketua Komisi III pun tidak sepenuhnya bisa diakomodir," ujarnya.

Meskipun demikian, ia menjamin bahwa proses legislasi akan berjalan transparan dan partisipatif semaksimal mungkin, sambil menekankan urgensi untuk segera mengganti KUHAP warisan tahun 1981 yang dinilai sudah tidak relevan.

"Yang perlu digarisbawahi, secara garis besar ikhtiar kami memastikan proses pembentukan UU KUHAP transparan dan partiisipatif sudah maksimal. Begitu juga ketentuan-ketentuan penting yang sangat reformis sudah dimasukkan," katanya.

"Saat ini sangatlah urgen untuk segera mengganti KUHAP 1981 dengan KUHAP baru yang jauh lebih berkualitas."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI