Abdullah Alkatiri menilai bahwa tak hanya dokumen seperti ijazah yang menjadi dokumen publik ketika seseorang menjadi pejabat negara, namun juga rincian harta kekayaan yang harus dilaporkan.
"Itu kan berkesinambungan bahwa ijazah itu digunakan sebagai salah satu syarat untuk menjadi pejabat publik, masuk ke KPU dan sebagainya. Begitu mereka sudah menjadi pejabat publik sebagai persyaratan, harta kekayaannya pun harus diberi tahu. Bayangkan, harta kekayaannya, sahamnya, depositonya. Padahal harta kekayaan itu informasi pribadi. Itu tidak berlaku lagi pribadi kalau selama dia sudah menjadi pejabat publik," sambung Abdullah Alkatiri.
Sikap UGM dan KPU yang dinilai menghalangi publik untuk mendapatkan informasi dinilai telah melanggar undang-undang yang ada.
"Oleh sebab itu, jelas UGM dan KPU ketika masyarakat atau rakyat meminta untuk melihat, mengakses, dan sebagainya dihalang-halangi, bagi UGM itu adalah melanggar konstitusi bahkan melanggar undang-undang," terangnya.
Di sisi lain, skripsi milik Jokowi juga turut dipertanyakan. Namun, menurut Abdullah Alkatiri, hal itu tidak perlu melibatkan hukum, hanya logika.
Menurutnya, mahasiswa yang lulus dari suatu universitas selalu diminta untuk menyerahkan skripsi kepada pihak perpustakaan kampus tersebut agar skripsi itu bisa dibaca oleh banyak orang. Hal itu menjelaskan bahwa skripsi bukanlah dokumen privat, sehingga bisa ditunjukkan kepada siapa pun.
"Kalau skripsi tidak private. Karena skripsi itu kan ditaruh di perpustakaan. Kalau di perpustakaan artinya apa? Semua orang bisa membaca. Artinya bisa diakses oleh siapa pun juga," beber Abdullah Alkatiri.