Di Balik Pengosongan Asrama Disabilitas di Cimahi: 6 Fakta Pilu di Malam Hari Anak Nasional

Wakos Reza Gautama Suara.Com
Rabu, 23 Juli 2025 | 18:48 WIB
Di Balik Pengosongan Asrama Disabilitas di Cimahi: 6 Fakta Pilu di Malam Hari Anak Nasional
asrama penyandang disabilitas Pusat Pelayanan Sosial Griya Harapan Difabel (PPSGHD) Dinas Sosial Jawa Barat, Selasa (22/7/2025) dikosongkan secara paksa. [ANTARA]

Suara.com - Di saat negara bersiap merayakan hak dan perlindungan anak, sebuah ironi kelam justru dipertontonkan oleh aparatur negara di Cimahi, Jawa Barat.

Sehari sebelum perayaan Hari Anak Nasional 2025, asrama putri yang menjadi satu-satunya harapan bagi siswi penyandang disabilitas untuk mengenyam pendidikan, dikosongkan secara paksa. Sebuah tindakan yang oleh orang tua korban disebut "sangat tidak manusiawi."

Kisah ini bukan sekadar sengketa fasilitas, melainkan potret buram tentang bagaimana kebijakan yang dingin dan birokratis dapat melukai kelompok paling rentan secara membabi buta.

Di satu sisi, ada tangisan dan trauma anak-anak yang 'diusir' dari rumah aman mereka. Di sisi lain, ada narasi resmi pemerintah yang berbicara tentang "penataan ulang."

Berikut adalah 6 fakta kunci yang membongkar lapisan-lapisan kontradiksi dan drama kemanusiaan dalam tragedi ini.

1. 'Kado' Pahit Sehari Sebelum Hari Anak Nasional

Waktu adalah segalanya, dan dalam kasus ini, waktu menjadi ironi yang paling menyakitkan. Pengosongan paksa ini dieksekusi pada Selasa (22/7/2025), tepat sehari menjelang Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli.

Momen yang seharusnya menjadi perayaan hak-hak anak, justru menjadi hari di mana hak siswi disabilitas atas tempat tinggal yang aman dan akses pendidikan direnggut secara tiba-tiba. Sebuah "kado" pahit yang akan selamanya terukir dalam memori mereka.

2. Gembok Dibongkar Saat Siswi Belajar di Sekolah

Baca Juga: Kelewatan! Satpam Pemkab Ciamis Kecanduan Judol, Tega Rampok Sepeda Motor Ojol Disabilitas

Proses pengosongan ini jauh dari kata dialogis. Menurut Anggita Putri, pembimbing asrama, pemberitahuan dilakukan mendadak lewat telepon saat ia dan para siswi sedang berada di sekolah.

Yang lebih mengejutkan, saat mereka kembali, asrama sudah dalam keadaan terbongkar.

"Kunci gembok dibongkar secara paksa," ujar Anggita, seraya menunjukkan bukti dokumentasi.

Para siswi pulang sekolah bukan untuk beristirahat, melainkan untuk menemukan barang-barang pribadi mereka telah dikeluarkan, dan rumah mereka terkunci dari dalam.

3. Trauma Anak & Mimpi Buruk Putus Sekolah

Dampak dari tindakan ini bukanlah sekadar urusan logistik memindahkan barang. Bagi para siswi, ini adalah serangan psikologis.

"Ketika sampai di sana anak-anak kondisinya kaget dan syok dan berkata 'ibu, kirain pulang cepat mau jalan-jalan, tapi kok ternyata malah diusir, malah dibongkar, malah kayak gini'," tutur Anggita menirukan ucapan pilu anak didiknya.

Lebih dari itu, ancaman putus sekolah kini menjadi nyata. Tanpa asrama yang menyediakan antar-jemput, para siswi yang berasal dari luar kota ini kehilangan akses vital menuju sekolah mereka.

4. Jeritan Hati Orang Tua: "Ini Sangat Tidak Manusiawi!"

Asep Sudrajat (52), orang tua dari salah satu siswi, tidak bisa menyembunyikan amarah dan kekecewaannya. Ia baru mengetahui nasib anaknya pada sore hari dan harus segera menjemputnya.

"Kalau dari Dinas Sosial, menurut saya sangat tidak manusiawi. Anak saya masih sekolah, tapi waktu pulang ke asrama barang-barangnya sudah dikeluarkan begitu saja," ujar Asep.

Selama tiga tahun, asrama itu telah menjadi benteng keamanan dan kedisiplinan bagi putrinya. Kini, ia harus meninggalkan pekerjaan untuk mengawasi putrinya yang berusia 17 tahun, sebuah dilema yang dihadapi banyak orang tua murid lainnya.

5. Alibi Dinsos Jabar: Bukan Pengusiran, Tapi 'Penataan Ulang'

Di tengah badai kritik, Dinas Sosial (Dinsos) Jawa Barat mengeluarkan narasi tandingan. Melalui Kepala UPTD PPSGHD, Andina Rahayu, mereka menegaskan "tidak benar ada pengusiran."

Istilah yang digunakan adalah "penataan ulang fasilitas" untuk menampung klien disabilitas terlantar yang jumlahnya meningkat.

Dinsos juga menyangkal telah membongkar gembok dan memindahkan barang-barang siswi. "Pemindahan barang-barang yang terjadi dilakukan bukan oleh pihak UPTD GHD," klaim Andina.

6. Kontradiksi Klaim 'Asrama Kosong' vs Realitas Bertahun-Tahun

Inilah titik paling krusial yang menggugat kredibilitas narasi pemerintah. Andina Rahayu menyebut bahwa wisma tersebut telah tercatat kosong selama delapan bulan sejak 2024.

Klaim ini bertabrakan langsung dengan kesaksian orang tua dan pembimbing, di mana salah satu siswi telah tinggal di sana selama tiga tahun terakhir.

Meskipun Dinsos menjanjikan relokasi ke wisma lain, pertanyaan mendasar tetap menggantung: Mengapa proses "penataan ulang" harus dilakukan dengan cara yang mengejutkan, tanpa pemberitahuan layak, dan meninggalkan trauma mendalam pada anak-anak penyandang disabilitas?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI