Sebagai gantinya, AS menawarkan "pemanis" berupa pengurangan tarif timbal balik hingga 19 persen untuk produk-produk Indonesia.
Terkuaknya perjanjian ini menimbulkan pertanyaan fundamental: sejauh mana data pribadi warga negara dapat menjadi komoditas dalam sebuah negosiasi dagang?
Apakah keuntungan ekonomi dari penurunan tarif sepadan dengan potensi risiko keamanan dan privasi yang mungkin timbul dari transfer data ke yurisdiksi negara lain?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kini dituntut DPR untuk dijawab secara transparan oleh pemerintah.