DPR Buka Revisi UU Kehutanan, Soroti Tata Kelola Hutan hingga Dana Reboisasi yang Melenceng

Rabu, 10 Desember 2025 | 12:20 WIB
DPR Buka Revisi UU Kehutanan, Soroti Tata Kelola Hutan hingga Dana Reboisasi yang Melenceng
Anggota Komisi IV DPR RI, Robert J. Kardinal. (Suara.com/Bagaskara)
Baca 10 detik
  • Komisi IV DPR RI menyoroti pengelolaan hutan tidak beres, terbukti dari kerusakan lingkungan dan fenomena kayu hanyut saat banjir.
  • Perbedaan pola penanganan kayu oleh pemegang izin seperti HTI, HPH, dan sawit menjadi akar masalah kegagalan reboisasi.
  • DPR membuka partisipasi publik untuk revisi UU Kehutanan, berfokus pada pembenahan pengelolaan Dana Reboisasi (DJR/PSDH).

Suara.com - Komisi IV DPR RI tengah menyoroti secara tajam berbagai persoalan mendasar dalam tata kelola hutan di Indonesia. Kerusakan lingkungan yang kian masif hingga fenomena kayu hanyut saat banjir dinilai sebagai indikator nyata ketidakberesan pengelolaan hutan yang telah berlangsung lama.

Merespons hal tersebut, Anggota Komisi IV DPR RI, Robert J. Kardinal, menegaskan, bahwa DPR kekinian membuka ruang selebar-lebarnya bagi partisipasi publik dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Ia mengungkapkan, salah satu akar masalah bermula dari perbedaan pola penanganan kayu oleh berbagai pemegang izin usaha, mulai dari Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), hingga perkebunan kelapa sawit.

“Harus diakui secara jujur, penanganannya berbeda-beda. HTI beda, HPH beda, sawit lebih parah lagi,” kata Robert kepada wartawan, Rabu (10/12/2025).

Politisi senior Golkar ini memaparkan praktik pembukaan lahan (land clearing) di sektor sawit yang kerap dilakukan dengan metode tebang habis hingga mencabut akar pohon. Kayu bernilai tinggi dijual, sementara sisa batang kecil ditumpuk begitu saja.

“Ketika banjir datang, kayu-kayu kecil itu ikut hanyut. Itu yang kita lihat terjadi sekarang,” ujarnya.

Tak hanya sawit, Robert juga mengkritisi pemegang HPH. Meski memiliki kewajiban menyusun Rencana Kerja Usaha (RKU) dan batasan tebang pilih, realisasi di lapangan dinilai sangat mengecewakan, terutama terkait kewajiban reboisasi.

“Pertanyaannya: di mana ada HPH yang benar-benar melakukan reboisasi? Tidak ada,” katanya.

Masalah lain yang menjadi sorotan utama adalah pengelolaan dana reboisasi. Sejak era reformasi, Dana Jaminan Reboisasi (DJR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) tidak lagi dikelola Kementerian Kehutanan, melainkan oleh Kementerian Keuangan. Akibatnya, alokasi dana yang seharusnya untuk pemulihan hutan justru beralih fungsi.

Baca Juga: Buntut Bencana Sumatra, Menhut Raja Juli Bidik 12 Perusahaan di Sumut yang Terindikasi Melanggar

"Dana reboisasi ini malah dipakai untuk operasional, dipakai untuk bangun gedung, beli mobil, segala macam, bukan pada fungsi sebenarnya. Ini persoalan besar. Padahal semua ini ada dananya untuk kegiatan penanaman kembali," jelasnya.

Situasi diperparah dengan berlakunya UU Omnibus Law yang dinilai Robert membuat tata kelola hutan semakin rumit. Penurunan status kawasan hutan kini menjadi lebih mudah dan rentan disalahgunakan karena minimnya pengawasan terpadu.

“Sekarang bisa langsung diturunkan jadi APL (Area Penggunaan Lain). Bupati jadi raja sendiri. IPK dikeluarkan semaunya, cukup dengan UKL-UPL, tidak perlu AMDAL,” katanya.

Melihat kompleksitas masalah mulai dari kegagalan hilirisasi kayu hingga penurunan harga plywood Indonesia di pasar global, Robert menegaskan, perlunya koreksi total melalui revisi UU Kehutanan

Salah satu fokus utamanya adalah mengembalikan mekanisme dana reboisasi agar proporsional bagi daerah.

“Seperti di Papua, dapil saya, itu sudah jelas pengaturan dana reboisasi itu 60 persen yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH). Tapi daerah lain kan belum. Ini harus diperbaiki,” ujarnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI