Suara.com - Polemik sound horeg mengundang pernyataan Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara (BKN), M Rofi’i Mukhlis atau yang akrab disapa Gus Rofi'i.
Dalam program "Catatan Demokrasi" tvOne, Gus Rofi’i menyampaikan pandangannya terhadap fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur soal penggunaan sound horeg.
Dia bahkan menyamakan suara dari sound horeg dengan suara dalam konser selawatan seperti yang dipimpin Habib Syekh.
"Coba deh datang ke konsernya Habib Syekh, dengarkan sound di sampingnya Habib Syekh, itu melebihi sound horeg. Makanya kalo kita berbicara aturan desibel, itu kena semua," ungkapnya, seperti dikutip pada Jumat, 25 Juli 2025.
"Coba sound horeg disuruh selawatan, nggak ada masalah MUI. Karena yang distel DJ, coba selawatan, nggak bakalan bermasalah walau desibelnya tinggi," lanjutnya.

Pernyataan ini jelas menyentil sikap MUI yang dinilai Gus Rofi’i belum sepenuhnya adil dalam menyikapi fenomena sound horeg.
Dia mengajak semua pihak, termasuk kalangan ulama, untuk tidak hanya melihat dari sisi hukumnya saja, tetapi juga mempertimbangkan sisi sosial dan ekonomi para pelaku usaha sound horeg yang saat ini berkembang pesat di berbagai daerah, khususnya Jawa Timur.
"Jadi teman-teman yang punya sound horeg ini juga butuh ngaji. Butuh siraman rohani. Butuh beramal. Nah di Gus Iqdam itu gantian sound horeg itu," ujarnya lebih lanjut.
Gus Rofi'i lantas mengusulkan agar sound horeg tidak serta merta dilarang, tetapi diatur dengan pendekatan yang lebih bijak.
Baca Juga: Haram! Tapi Kenapa Sound Horeg Dibela Mati-matian? Ini 5 Alasan yang Bikin Geleng-geleng Kepala
Menurutnya, banyak pelaku usaha sound horeg yang terbuka untuk diatur asal tidak dipaksa berhenti total.
"Ketika teman-teman sound apalagi di Jawa Timur itu 15 ribu, dia bilang saya mau diatur Kyai. Tapi jangan dilarang, ini negara demokrasi," ujarnya.
"Kecuali kalau ada tindakan pidana, melanggar hukum, itu urusannya kepolisian. Itu bijak namanya," tegasnya.
Fatwa yang menjadi dasar polemik ini datang dari MUI Jawa Timur, yang dalam Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 menyatakan haram penggunaan sound horeg jika berlebihan dan menimbulkan mudarat.
Dalam fatwa tersebut, sound horeg didefinisikan sebagai sistem audio berkekuatan tinggi terutama pada frekuensi rendah (bass) yang bisa menimbulkan getaran dan gangguan kesehatan.
Selain itu, MUI menilai penggunaan sound horeg dalam konteks hiburan keliling dengan volume ekstrem juga berpotensi memboroskan harta dan mengganggu ketertiban umum.
Meski begitu, MUI tidak serta merta mengharamkan semua jenis sound system.
Penggunaan pengeras suara tetap diperbolehkan untuk kegiatan positif seperti pengajian atau acara pernikahan, selama dalam batas wajar.
Namun menurut Gus Rofi'i, pelarangan yang terkesan menyeluruh tanpa solusi konkret bisa berdampak serius bagi para pelaku ekonomi mikro di sektor ini.
Dia mencontohkan, di Malang saja terdapat lebih dari seribu pelaku usaha sound horeg yang menggantungkan hidup mereka pada bisnis tersebut.

"Teman-teman ini mau diatur. Ini sandang pangan keluarga, sandang pangan tetangga yang jualan. Ini harus dipikirkan ulama juga," kata Gus Rofi'i.
"Siapa yang mau ngasih kerjaan mereka kalau ulama hanya memberi fatwa haram begitu saja?" ujarnya lagi.
Gus Rofi'i pun mendorong adanya pendekatan dialogis antara ulama dan pelaku usaha sound horeg.
Menurutnya, jika volume menjadi masalah utama, maka solusinya bukan melarang tetapi mengatur.
"Berarti ada titik-titik tertentu yang tidak haram, misalnya volumenya dikurangi. Kan ini hanya masalah volume kan?" pungkasnya.
Kontributor : Chusnul Chotimah