Suara.com - Indonesia menegaskan bahwa transisi energi dan penanganan krisis iklim bukan semata agenda global, melainkan misi nasional yang menyangkut keberlangsungan hidup rakyat, dari ketahanan pangan hingga kedaulatan ekonomi.
Dalam forum Indonesia Net-Zero Summit 2025 di Jakarta, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Zulkifli Hasan, menyampaikan bahwa solusi iklim harus menghadirkan keadilan sosial dan dampak nyata.
“Perubahan iklim bisa merusak ketahanan pangan kita. Anomali cuaca yang terus-menerus bisa membuat Indonesia impor beras terus,” ujar Zulkifli.
Menurutnya, krisis iklim bukan hanya persoalan emisi, tetapi juga menyangkut hak dasar masyarakat makan, bekerja, dan hidup aman dari bencana.

Indonesia telah mencatat sejumlah capaian konkret. Deforestasi melambat ke titik terendah dalam dua dekade, restorasi mangrove mencapai 600 ribu hektare, dan bauran energi mulai didorong dari pembangkit fosil ke pembangkit energi terbarukan seperti surya, bayu, dan bioenergi.
Di Indonesia Timur, PLTS dan PLTB mulai menyala.
“Indonesia bahkan berhasil mengurangi emisi hingga 36,7 persen atau sekitar 608 metrik ton CO2 ekuivalen. Ini langkah besar yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan perlindungan iklim bisa berjalan beriringan,” kata Zulkifli.
Meski demikian, ia menekankan pentingnya dukungan dari mitra internasional, baik dalam bentuk pendanaan maupun transfer teknologi.
Pasar karbon sukarela, menurutnya, menjadi peluang konkret. Indonesia memiliki potensi nature-based solution hingga 1,5 gigaton CO2 ekuivalen per tahun, namun baru 3 persen yang terealisasi di pasar.
Baca Juga: Koperasi Desa Merah Putih Jadi Solusi Permanen Atasi Beras Oplosan
Pemerintah juga tengah menyusun dokumen Second NDC dengan fokus utama pada sektor pangan, kehutanan, dan energi, sebagai bentuk tanggung jawab bersama menuju masa depan yang inklusif dan berkelanjutan.