Tuntutan ini didasarkan pada kesepakatan yang telah dicapai dalam rapat bersama tim transisi gubernur dan Jakpro pada 28 Februari 2025.
"Kami ingin agar masa hunian dan kerja di KSB dituangkan secara tegas selama 30 tahun, sesuai kesepakatan 28 Februari," tegas Furqon.
Namun, permintaan tersebut tampaknya belum mendapatkan respons positif dari Jakpro.
Menurut Furqon, jawaban yang diterima selalu mengambang dan tidak memberikan kepastian.
"Mereka tidak menolak secara langsung, tapi selalu bilang ‘akan dipelajari’. Tidak ada kejelasan hingga hari ini," katanya.
Pendekatan Sepihak dan Cita-Cita Petani Kota
Furqon menyayangkan pendekatan Jakpro yang dianggapnya terlalu sepihak dan minim dialog.
Padahal, kelompoknya secara proaktif telah menggarap lahan pertanian di kawasan KSB, menunjukkan komitmen mereka untuk berkontribusi pada lingkungan sekitar, meskipun hak untuk tinggal belum juga mereka dapatkan.
Warga Kampung Bayam, yang banyak di antaranya berprofesi sebagai petani kota, memiliki cita-cita untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai jantung pertanian urban di Jakarta.

Keterlibatan mereka dalam pengelolaan lahan diharapkan dapat menjadi model pemberdayaan masyarakat yang terintegrasi dengan pembangunan kota modern.
Baca Juga: Ketimpangan di Jakarta Meningkat, Pramono Bicara soal Orang Kaya Makin Kaya
"Kami ini petani kota yang ingin menghidupkan kembali jantung kota Jakarta lewat pertanian. Tapi seolah tidak ada kepercayaan dari pemerintah, padahal ini cita-cita besar," pungkasnya.
Sementara itu, sebagian warga eks Kampung Bayam lainnya yang selama ini tinggal di Rusun Nagrak telah setuju untuk pindah ke KSB dan menandatangani kontrak pada hari yang sama.
Namun, Kelompok Tani Kampung Bayam Madani tetap bersikeras menuntut pemenuhan janji dan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.