Blak-blakan Selamat Ginting: Era Jokowi Diwarnai Pembegalan Partai Politik, Demokrasi dalam Bahaya!

Jum'at, 01 Agustus 2025 | 09:31 WIB
Blak-blakan Selamat Ginting: Era Jokowi Diwarnai Pembegalan Partai Politik, Demokrasi dalam Bahaya!
Presiden ke-7 Jokowi saat ditemui di kediaman pribadinya, Jumat (25/7/2025). [Suara.com/Ari Welianto]

Suara.com - Panggung politik nasional diguncang oleh kritik tajam dari pengamat politik dan militer Universitas Nasional, Selamat Ginting.

Tanpa tedeng aling-aling, Ginting menuding era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diwarnai oleh fenomena "pembegalan" dan pemecahbelahan partai politik yang sistematis.

Pernyataan ini bukan sekadar analisis, melainkan sebuah peringatan keras tentang potensi pengikisan pilar-pilar demokrasi di Indonesia.

Dalam sebuah diskusi panas di kanal Forum Keadilan TV, Selamat Ginting secara eksplisit membeberkan apa yang ia sebut sebagai intervensi berbahaya terhadap independensi partai. Menurutnya, ada pola yang jelas dan disengaja untuk melemahkan kekuatan partai dari dalam.

"Di era Jokowi terjadi pembegalan terhadap partai-partai politik yang dipecah belah, seperti Golkar, HKTI, dan upaya terhadap Demokrat," ungkap Ginting.

Pernyataan ini langsung merujuk pada serangkaian turbulensi internal yang pernah melanda beberapa partai besar dan menjadi sorotan publik.

Modus Operandi "Pembegalan" Partai: Golkar hingga Demokrat Jadi Target?

Pengamat politik dan militer Universitas Nasional, Selamat Ginting di Podcast Forum Keadilan TV. [YouTube]
Pengamat politik dan militer Universitas Nasional, Selamat Ginting di Podcast Forum Keadilan TV. [YouTube]

Selamat Ginting menegaskan bahwa konflik yang terjadi di tubuh partai-partai tersebut bukanlah sekadar dinamika internal biasa.

Ia mensinyalir adanya sebuah modus operandi yang dirancang untuk menciptakan dualisme kepemimpinan atau faksi-faksi yang saling berlawanan.

Baca Juga: Terungkap! Bukan Calo Tiket Bus, Ini Pekerjaan Mulyono yang Bikin Hebih Reuni UGM

Kasus perpecahan di Partai Golkar hingga upaya pengambilalihan kepemimpinan di Partai Demokrat menjadi contoh konkret yang ia sorot.

Menurut analisisnya, skema ini sengaja dijalankan untuk menggerus soliditas dan kekuatan partai politik.

Ketika sebuah partai terbelah, fokusnya akan terkuras untuk menyelesaikan konflik internal, sehingga fungsi utamanya sebagai alat kontrol dan penyeimbang kekuasaan pemerintah menjadi tumpul dan tidak efektif.

Akibatnya, independensi partai sebagai pilar demokrasi menjadi taruhannya.

Tudingan Serius: Jokowi Disebut "Tokoh Pemecah Belah Bangsa"

Presiden ke-7 Jokowi saat selesai dilakukan pemeriksaan oleh penyidik Polda Metro Jaya di Mapolresta Solo, Rabu (23/7/2025). [Suara.com/Ari Welianto]
Presiden ke-7 Jokowi saat selesai dilakukan pemeriksaan oleh penyidik Polda Metro Jaya di Mapolresta Solo, Rabu (23/7/2025). [Suara.com/Ari Welianto]

Lebih jauh, Selamat Ginting melontarkan tudingan yang sangat serius dan langsung ditujukan kepada kepala negara. Ia menyebut praktik intervensi dan pemecahbelahan partai ini sebagai ciri khas yang membedakan era Jokowi dengan presiden-presiden sebelumnya.

"Jokowi dianggap sebagai tokoh pemecah belah bangsa, praktik yang tidak terjadi di era presiden sebelumnya," tegas Ginting.

Tudingan ini menggambarkan adanya kekhawatiran mendalam mengenai polarisasi politik yang semakin tajam, yang menurut Ginting, justru diperkeruh oleh intervensi terhadap otonomi partai. Jika klaim ini terbukti, hal ini menandakan adanya pergeseran fundamental dalam hubungan antara kekuasaan eksekutif dan lembaga legislatif, di mana garis antara independensi dan intervensi menjadi semakin kabur.

Mengapa "Pembegalan" Partai Jadi Ancaman Nyata bagi Demokrasi?

Ancaman "pembegalan" partai politik memiliki dampak langsung pada kesehatan demokrasi sebuah negara. Partai politik adalah instrumen vital untuk agregasi dan artikulasi aspirasi rakyat.

Mereka juga berfungsi sebagai mekanisme checks and balances untuk memastikan pemerintah tetap akuntabel.

Ketika partai diobok-obok, dilemahkan, atau diintervensi, maka suara kritis rakyat berpotensi terbungkam. Fenomena ini menggerus fungsi esensial partai politik sebagai kanal aspirasi publik dan penyeimbang kekuasaan eksekutif.

Implikasinya sangat serius: potensi dominasi eksekutif yang absolut, minimnya ruang bagi oposisi yang sehat dan konstruktif, serta pada akhirnya, kemunduran kualitas demokrasi yang telah diperjuangkan. Peringatan dari Selamat Ginting ini menjadi pengingat krusial bagi seluruh elemen bangsa untuk menjaga marwah dan independensi partai politik demi masa depan demokrasi Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI