Suara.com - Semarak menyambut Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia mulai terasa di sudut-sudut jalanan Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.
Deretan bendera Merah Putih dan umbul-umbul berkibar, dijajakan oleh para pedagang musiman yang menggantungkan asa pada momen kemerdekaan.
Namun, di balik warna-warni merah putih itu, tersimpan kisah perjuangan yang getir. Terlebih lagi, tahun ini mereka dihadapkan pada dua tantangan.
Lesunya daya beli masyarakat dan fenomena viral di media sosial soal bendera bajak laut "One Piece" yang digadang-gadang akan ikut berkibar.
Di tengah situasi ini, ada prinsip teguh yang dipegang oleh Yanti (46), salah seorang pedagang bendera. Ia menolak mencari untung dari tren sesaat dan memilih jalan sunyi untuk tetap setia pada Merah Putih.

Ketika banyak pedagang mungkin tergoda untuk memanfaatkan popularitas anime One Piece untuk mendongkrak penjualan, Yanti dengan tegas menolaknya.
Baginya, berjualan bendera di bulan Agustus bukan murni soal bisnis, melainkan sebuah partisipasi dalam merayakan kemerdekaan.
Saat ditanya mengapa tidak ikut menjual bendera One Piece yang sedang ramai dibicarakan, jawabannya singkat namun penuh makna.
"(Gak jualan bendera One Piece, kan ramai?) Merah putih aja, sekarang mah merdeka. Ga ibu mah, merah putih aja lah, ini kan mau nyambut 17 Agustus," kata Yanti dengan logatnya yang khas, Jumat (1/8/2025).
Baca Juga: Kontras! Beda Pandangan Dasco dan BG Soal Bendera One Piece
Sikapnya adalah cerminan dari nasionalisme sederhana: momen kemerdekaan adalah untuk menghormati bendera pusaka, bukan yang lain.
Realita Pahit di Tepi Jalan, Sehari Cuma Dapat Rp10 Ribu
Sayangnya, prinsip teguh Yanti harus berhadapan dengan kenyataan ekonomi yang pahit. Setelah 6 tahun berjualan, ia mengaku tahun ini adalah yang terberat. Omzetnya terjun bebas hingga 50 persen dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Menurun sekarang mah, banyak yang bilang 'bu turunin harga bendera', kan setahun sekali ini mah. Dari sana nya tetep segitu, tapi ada yang beli menurun, merosot 50 persen," keluhnya.
Ia menduga faktor ekonomi menjadi penyebab utama lesunya penjualan. Pukulan telak ia rasakan di hari pertama berjualan. Setelah menggelar lapaknya dari pukul 6 pagi hingga 7 malam, pendapatan yang masuk ke kantongnya sungguh tak seberapa.
"Dapat 10 ribu, pas awal jualan dari jam 6 sampe jam 7 malem," ungkapnya lirih.