Suara.com - Wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menguat dan kini telah memasuki tahap pendalaman serius oleh pemerintah. Sinyal ini disampaikan langsung oleh Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, saat melakukan kunjungan kerja di Mataram, NTB, pada hari Sabtu.
Menurut Bima Arya, yang juga mantan Wali Kota Bogor, pemerintah saat ini tengah mengkaji secara komprehensif seluruh aspek dari usulan tersebut. Ia berpandangan bahwa pemilihan kepala daerah melalui lembaga legislatif berpotensi menciptakan pemerintahan yang lebih efisien dan efektif dalam hal koordinasi.
"Kami masih mendalami karena tentu harus dikaji betul semua aspeknya," tegas Bima Arya, dikutip via Antara pada Sabtu (2/8/2025).
Ia menambahkan bahwa kajian ini bersifat lintas kementerian, melibatkan Kemendagri, Bappenas, Kemenko Polhukam, hingga nantinya akan dibahas di tingkat DPR.
Secara konstitusional, Bima Arya menjelaskan bahwa usulan ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. "Undang-Undang Dasar mengatur bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Demokratis artinya bisa langsung atau bisa DPRD. Koridornya itu tidak bisa ditunjuk," jelasnya, sambil menegaskan bahwa tafsiran "demokratis" bisa berarti pemilihan langsung oleh rakyat ataupun tidak langsung melalui perwakilan di DPRD.
Bermula dari Isu Efisiensi Anggaran
Gagasan untuk meninjau kembali sistem Pilkada langsung ini bukan muncul tanpa sebab. Wacana ini pertama kali mencuat ke publik setelah Presiden Prabowo Subianto, pada Desember 2024, menyoroti sistem politik di Indonesia yang dinilainya sangat mahal dan tidak efisien jika dibandingkan negara tetangga.
Menurut Presiden Prabowo, pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh lembaga legislatif cenderung jauh lebih hemat anggaran. Pernyataan ini kemudian diperkuat oleh salah satu menteri koordinator kabinetnya, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), yang pada Juli 2025 secara terbuka mengusulkan kepada Presiden agar kepala daerah dipilih oleh DPRD atau bahkan ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Jejak Sejarah Pilkada Langsung
Baca Juga: MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal, Mardani: Isu Daerah Kini Punya Panggung
Untuk memahami konteks perdebatan ini, penting untuk melihat kembali sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Selama era Orde Baru, kepala daerah sepenuhnya dipilih oleh DPRD. Sistem ini dipandang sebagai bagian dari sentralisasi kekuasaan, di mana rakyat tidak memiliki hak suara langsung untuk menentukan pemimpin di daerahnya.
Angin perubahan datang seiring dengan gelombang Reformasi 1998. Salah satu tuntutan utamanya adalah demokratisasi dan otonomi daerah yang lebih luas. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan Pilkada langsung untuk pertama kalinya. Momen bersejarah ini akhirnya terwujud pada Juni 2005, di mana rakyat Indonesia bisa memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung.
Namun, wacana untuk kembali ke sistem DPRD bukanlah hal baru. Ini adalah pengulangan dari perdebatan sengit pada tahun 2014, di mana DPR sempat mengesahkan UU Pilkada yang mengembalikan pemilihan ke tangan DPRD. Kebijakan tersebut menuai gelombang protes masif dari masyarakat sipil yang menganggapnya sebagai sebuah kemunduran demokrasi. Merespons tekanan publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU tersebut dan mengembalikan Pilkada ke sistem langsung.
Kini, diskursus tersebut kembali hadir dengan argumen utama seputar efisiensi dan penghematan biaya. Pilkada langsung dipandang sebagai puncak kedaulatan rakyat, namun di sisi lain dikritik karena biaya politik yang sangat tinggi dan potensi polarisasi di tengah masyarakat. Sebaliknya, pemilihan melalui DPRD dianggap lebih hemat, namun rawan praktik politik transaksional di parlemen daerah dan dinilai dapat memutus hubungan langsung antara pemimpin dengan rakyatnya.