Suara.com - Kabar duka yang mendalam menyelimuti TNI Angkatan Udara. Salah satu penerbang tempur terbaiknya, Marsekal Pertama (Marsma) TNI Fajar Adriyanto, gugur dalam sebuah kecelakaan pesawat.
Ironisnya, sang 'Red Wolf' yang dikenal piawai mengendalikan jet tempur F-16 ini tidak gugur di medan perang, melainkan saat menerbangkan pesawat latih sipil di Ciampea, Bogor, Minggu (3/8/2025).
Kecelakaan ini menimpa pesawat Microlight Fixedwing Quicksilver GT500 milik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), sebuah induk olahraga dirgantara yang berada di bawah binaan TNI AU.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau), Marsma TNI I Nyoman Suadnyana, menjelaskan kronologi singkat yang berujung tragis tersebut. Pesawat yang dipiloti langsung oleh Marsma Fajar lepas landas dari Lanud Atang Sendjaja pada pukul 09.08 WIB untuk misi latihan profisiensi.
Namun, hanya 11 menit kemudian, petaka terjadi.
"Sekira pukul 09.19 WIB, pesawat mengalami hilang kontak dan ditemukan jatuh di sekitar TPU Astana," kata Nyoman dalam keterangannya.
Kedua awak, yakni Marsma Fajar sebagai pilot dan Roni sebagai co-pilot, segera dievakuasi ke RSAU dr. M. Hassan Toto. Nahas, nyawa sang jenderal tidak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia setibanya di rumah sakit.
Nyoman menegaskan bahwa penerbangan tersebut telah mengantongi izin, dan pesawat dinyatakan layak terbang bahkan sudah melakukan penerbangan pertama (sortie) pada hari yang sama.
Jejak Legendaris sang 'Red Wolf'
Baca Juga: Mengenal 'Red Wolf', Pilot Legendaris F-16 yang Gugur dalam Kecelakaan Pesawat Latih di Bogor
Gugurnya Marsma Fajar Adriyanto meninggalkan luka mendalam karena ia bukanlah pilot biasa. Lulusan AAU 1992 ini adalah seorang penerbang tempur F-16 legendaris dengan call sign "Red Wolf".
Jejak kariernya dipenuhi dengan jabatan-jabatan strategis, mulai dari Komandan Skadron Udara 3, Danlanud Manuhua, Kepala Dinas Penerangan AU (Kadispenau), hingga jabatan terakhirnya sebagai Kapoksahli Kodiklatau.
Salah satu momen paling heroik dalam kariernya adalah saat ia terlibat dalam peristiwa mencegat pesawat F/A-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat di langit Bawean pada tahun 2003, sebuah bukti keberanian dan kemampuannya yang diakui dunia.
“TNI AU menyampaikan duka cita yang mendalam atas peristiwa ini. Semangat, keteladanan, dan pengabdian beliau akan senantiasa menjadi inspirasi bagi generasi penerus dalam menjaga langit Indonesia,” tandas Nyoman.
Kini, sang 'Red Wolf' telah terbang untuk selamanya, meninggalkan jejak pengabdian yang tak akan terlupakan di Angkatan Udara.