Shirohige Bukan Simbol Pemberontak: 4 Bukti Aparat Gagal Paham Mural One Piece

Tasmalinda Suara.Com
Senin, 04 Agustus 2025 | 22:40 WIB
Shirohige Bukan Simbol Pemberontak: 4 Bukti Aparat Gagal Paham Mural One Piece
Aparat paksa hapus mural One Piece di Sragen

Suara.com - Sebuah mural HUT RI di Sragen minta dihapus paksa oleh aparat tentara telah menjadi simbol kesenjangan pemahaman budaya yang dalam.

Di mata para pemuda Dukuh Ndayu, Karangmalang, lukisan Jolly Roger Shirohige dari anime "One Piece" adalah lambang semangat kekeluargaan dan perlindungan.

Namun di mata aparat, itu adalah simbol "bajak laut" yang berpotensi menjadi ancaman.

Insiden ini lebih dari sekadar penghapusan karya seni; ini adalah studi kasus tentang "salah kaprah" fatal.

Bagi jutaan penggemar "One Piece", menuduh Shirohige sebagai simbol pemberontakan adalah sebuah ironi.

Justru sebaliknya, ia adalah pilar penjaga perdamaian.

Berikut adalah 4 bukti mendalam mengapa aparat gagal total memahami makna di balik mural Shirohige yang kini telah menjadi dinding bisu.

1. Salah Kaprah Fatal: Mengira Semua Bajak Laut Itu Jahat

Inilah akar masalahnya.

Baca Juga: Bendera One Piece Beri Pelajaran Berharga ke Satpol PP Bogor, Ini 5 Fakta Tak Terduga

Aparat kemungkinan besar melihat simbol tengkorak dan label "bajak laut" sebagai representasi pemberontakan, anarki, atau perlawanan terhadap otoritas sah.

Ini adalah interpretasi literal yang mengabaikan sama sekali konteks narasi "One Piece".

Dalam dunia "One Piece", label "bajak laut" tidak selalu berarti jahat.

Banyak bajak laut, terutama kelompok protagonis, justru menjadi pahlawan bagi rakyat kecil yang tertindas oleh sistem korup Pemerintah Dunia dan Angkatan Laut yang seringkali buta akan keadilan.

Menggeneralisasi semua simbol bajak laut sebagai ancaman adalah langkah pertama dari kesalahpahaman ini.

2. Shirohige adalah Simbol Keluarga dan Perlindungan, Bukan Pemberontakan

Menyamakan Shirohige dengan pemberontakan adalah kesalahan terbesar.

Di dalam cerita, Edward Newgate alias Shirohige adalah sosok yang paling dihormati justru karena nilai-nilai yang ia anut, yang sangat jauh dari stereotip bajak laut perusak.

Shirohige adalah figur ayah universal yakni Impian terbesar Shirohige bukanlah harta karun atau kekuasaan, melainkan "keluarga".

Ia menyebut semua anggota krunya sebagai "anak-anakku" dan rela mati demi melindungi mereka.

Benderanya adalah simbol perlindungan, bukan ancaman.

Selain itu, diartikan sebagai pelindung Kaum Lemah: Shirohige menggunakan statusnya sebagai Yonko (salah satu dari empat kaisar lautan) untuk melindungi banyak pulau, termasuk Pulau Manusia Ikan yang sering mengalami diskriminasi.

Di bawah benderanya, pulau-pulau ini aman dari perbudakan dan serangan. Ia adalah stabilitas, bukan kekacauan.

Para pemuda di Sragen kemungkinan besar memilih simbol ini karena merepresentasikan semangat persatuan dan perlindungan—nilai yang sangat relevan dengan HUT Kemerdekaan.

3. Ironi Salah Target: Ini Simbol Pemberontak Sebenarnya di "One Piece"

Jika aparat ingin mencari simbol pemberontakan sejati dalam "One Piece", mereka jelas salah target. Di dalam cerita, satu-satunya faksi yang secara eksplisit bertujuan untuk menggulingkan Pemerintah Dunia adalah Pasukan Revolusioner (Revolutionary Army).

Pasukan ini dipimpin oleh Monkey D. Dragon, ayah dari sang protagonis, Luffy.

Merekalah yang secara aktif mengorganisir perlawanan global terhadap tirani kaum Naga Langit. Menghapus mural Shirohige yang notabene adalah rival dari Raja Bajak Laut Gol D. Roger dan seorang pilar keseimbangan dunia adalah bukti nyata kurangnya riset dan pemahaman terhadap materi yang mereka hakimi.

4. Cermin Benturan Generasi: Saat Otoritas Gagal Membaca Bahasa Anak Muda

Insiden ini pada akhirnya adalah cerminan benturan antara generasi yang "berbahasa" dengan cara berbeda.

Aparat berbicara dengan bahasa formal negara dan simbol-simbol resmi. Sementara itu, generasi muda kini seringkali berbicara melalui bahasa simbolik budaya pop yang kaya akan makna tersirat.

Bagi mereka, mural "One Piece" bukan upaya menandingi Merah Putih, melainkan cara kreatif untuk menyuarakan nilai-nilai universal seperti persahabatan, keadilan, dan perlindungan yang mereka serap dari tontonan favorit mereka.

Tindakan represif tanpa dialog hanya akan memperlebar jurang, menciptakan apatisme, dan memadamkan kreativitas yang seharusnya dirayakan.

Penghapusan mural di Sragen adalah pelajaran mahal bahwa memahami konteks budaya adalah kunci sebelum mengambil tindakan, agar semangat kemerdekaan tidak justru diberangus atas nama nasionalisme yang sempit.

Menurut Anda, apakah aparat perlu lebih memahami budaya pop untuk menghindari insiden seperti ini?

Bagikan pendapat Anda di kolom komentar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI