Ungkap Sumber Perpecahan, Menag Nasaruddin Umar: Pertanda Pemahaman Agama Kita Masih Dangkal

Rabu, 06 Agustus 2025 | 17:01 WIB
Ungkap Sumber Perpecahan, Menag Nasaruddin Umar: Pertanda Pemahaman Agama Kita Masih Dangkal
Menag Nasaruddin Umar: Agama Harus jadi Kekuatan Pemersatu, Bukan Sumber Perpecahan

Suara.com - Menteri Agama (Menag), Nasaruddin Umar mengaku tidak menampik masih ada pihak-pihak yang menyalahgunakan agama untuk membawa petaka kepada umat. Maka, menurutnya, agama penting untuk menjaga kerukunan beragama, bukan dijadikan alat untuk memecah belah bangsa.

Pernyataan itu disampaikan oleh Menag Nasaruddin Umar dalam forum Silaturahmi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Lembaga Keagamaan Tahun 2025 di Atria Hotel Gading Serpong, Tangerang.

“Agama itu seperti nuklir. Bisa memberi manfaat besar jika digunakan untuk kemaslahatan, seperti pembangkit listrik yang efisien. Tapi kalau disalahgunakan, bisa jadi bom yang menghancurkan,” bebernya.

Menurutnya, agama seharusnya bisa menjadi fondasi kemanusian dan bagi persatuan. Imam Besar Masjid Istiqlal itu juga menyebut jika seseorang mendalami agama secara benar, maka akan mudah menerima adanya perbedaaan di masyarakat.

“Semakin dalam kita memahami agama, semakin mudah kita menemukan kesamaan, bukan perbedaan. Tapi jika yang kita tonjolkan justru perbedaan antaragama, itu pertanda pemahaman keagamaan kita masih dangkal,” ungkapnya.

Menteri Agama (Menag), Nasaruddin Umar saat berpidato dalam forum Silaturahmi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Lembaga Keagamaan Tahun 2025 di Atria Hotel Gading Serpong, Tangerang. (ist)
Menteri Agama (Menag), Nasaruddin Umar saat berpidato dalam forum Silaturahmi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Lembaga Keagamaan Tahun 2025 di Atria Hotel Gading Serpong, Tangerang. (ist)

Dia meminta agar semua pihak tidak gampang menilai seseorang dari atribut keagamaan yang melekat kepada dirinya. Menurutnya, kualitas keberagaman seseorang terlihat dari sikap, tutur kata hingga bahasa tubuh dalam kehidupan sehari-hari.

Maka, menurutnya, konsep kurikulum cinta harus dikembangkan sebagai fondasi karakter umat.

“Kurikulum cinta tidak hanya berlaku di sekolah. Ia juga harus hadir di rumah ibadah, lingkungan RT, hingga dalam rumah tangga. Karena sejatinya, kurikulum itu adalah arah berpikir dan bertindak tentang apa yang baik dan tidak baik. Kalau dalam diri kita masih ada kurikulum konflik, maka PR kita masih panjang,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Nasaruddin membeberkan pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan bahwa stabilitas yang hanya dibangun atas dasar aturan formal sangat rapuh. Ketika kesadaran kolektif belum terbentuk, potensi konflik masih mudah dipicu oleh hal-hal kecil.

Baca Juga: 5 Penjudi Dicokok Polisi Gegara Rugikan Bandar, Publik Geleng-geleng: Makin Konyol Hukum di Sini

Kerukunan, lanjutnya, tidak bisa terus-menerus bergantung pada intervensi eksternal. Ia harus lahir dari dalam diri, dari kesadaran personal dan kolektif bahwa hidup damai adalah pilihan yang harus dijaga bersama.

Ia juga menyoroti pentingnya menjadikan rumah ibadah sebagai ruang yang memanusiakan, bukan sekadar tempat ritual.

“Saya percaya, rumah ibadah adalah rumah kemanusiaan. Mari kita ubah cara pandang itu. Kemanusiaan hanya satu, tidak punya warna atau batas agama. Kalau nilai-nilai kemanusiaan diganggu, siapa pun bisa tersinggung, agama apapun dia," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI