Suara.com - Sebuah gambar dari pedalaman Toraja berhasil melakukan apa yang sulit dicapai oleh kampanye jutaan rupiah, mengetuk nurani bangsa.
Bukan potret kemewahan, bukan pula drama sensasional.
Hanya sekumpulan murid SD berseragam cokelat, tulus dan kompak mengangkut batu pipih.
Misi mereka sederhana namun menggetarkan yakni membangun lantai kamar mandi untuk guru mereka, dengan harapan sang guru tidak jadi "pulang ke kota".
Kisah ini, yang terangkum dalam kalimat, "Supaya abu Guru Gak Balik ke Kota, ga kejauhan", adalah potret cinta paling murni sekaligus kritik paling senyap terhadap realita pendidikan kita.
Ini bukan sekadar cerita gotong royong, ini adalah surat cinta yang ditulis dengan keringat dan batu.
Di Balik Aksi Gotong Royong: Sebuah Permohonan Agar Tak Ditinggalkan
Mari kita bedah kalimat kunci dari peristiwa ini: "Supaya abu Guru Gak Balik ke Kota."
Di dalamnya terkandung sebuah ketakutan yang mendalam.
Baca Juga: Semangat Namin di Usia Senja: Bersepeda Tengah Malam Demi Rezeki dan Lingkungan
Anak-anak ini tidak sedang membangun fasilitas, mereka sedang membangun benteng.
Benteng yang mereka harap cukup kuat untuk menahan guru tercinta mereka agar tidak pergi.
Aksi ini adalah manifestasi dari kecemasan kolektif anak-anak di daerah terpencil yang seringkali harus menghadapi pergantian guru.
Ketika mereka akhirnya menemukan sosok pendidik yang mampu merebut hati mereka—yang mereka sapa "Abu Guru"—mereka rela melakukan apa saja untuk mempertahankannya.
Bukan Sekadar Batu: Setiap batu yang mereka angkut dengan tangan-tangan mungil itu adalah simbol permohonan.
Sebuah suara tanpa kata yang berkata, "Pak/Bu Guru, tinggallah di sini. Kami membutuhkanmu."