Suara.com - Di tengah riuhnya hujatan terhadap kualitas visual film animasi "Merah Putih One for All", ada satu tudingan yang bergema lebih kencang dan menusuk lebih dalam yakni film ini terasa seperti "proyek kejar setoran".
Kritik ini melampaui sekadar perdebatan teknis soal animasi kaku atau dialog "creepy".
Ini adalah cerminan sinisme publik, terutama dari Gen Z dan milenial, terhadap karya yang tercium berbau formalitas birokrasi ketimbang gairah artistik.
Istilah seperti "proyek LPJ" (Laporan Pertanggungjawaban) dan "kejar setoran" ramai berseliweran di media sosial. Publik seolah mencium adanya motivasi yang dingin di balik produksi film ini.
Alih-alih lahir dari visi kreatif yang tulus, "Merah Putih One for All" dipersepsikan sebagai produk yang dibuat tergesa-gesa hanya untuk memenuhi checklist program dalam rangka menyambut HUT ke-80 Kemerdekaan RI.
Kesan ini, adil atau tidak, menjadi beban berat yang harus ditanggung film tersebut bahkan sebelum tayang di bioskop.
Ironisnya, niat mengangkat nasionalisme justru menjadi bumerang.
Audiens yang cerdas kini tak lagi mudah terbuai hanya dengan label "karya anak bangsa" atau "tema kebangsaan".
Mereka bisa merasakan mana karya yang memiliki "roh" dan mana yang terasa seperti tugas wajib.
Baca Juga: Siapa Pembuat Film Animasi Merah Putih One For All yang Tuai Kontroversi?
"Kalau niat untuk mengejar kualitas, bisa dimulai dari film durasi pendek dulu. Jangan langsung tayang di bioskop hanya untuk memeriahkan acara nasional. Itu kesannya cuma buat memenuhi LPJ aja," tulis akun X @mbahmuu_Ya, yang komentarnya viral dan diamini banyak orang.
Komentar ini merangkum sebuah fenomena sosial yang lebih besar: kelelahan kolektif terhadap proyek-proyek seremonial. Generasi muda yang tumbuh di era digital mendambakan otentisitas.
Mereka lebih menghargai proses kreatif yang jujur dan panjang daripada jalan pintas demi sebuah perayaan.
Ketika sebuah karya terasa dipaksakan untuk momen tertentu, alarm sinisme mereka langsung berbunyi.
Dari ribuan komentar yang membanjiri trailer, dapat disimpulkan beberapa "gejala" yang membuat film ini dicap sebagai "proyek setoran":
Kasus "Merah Putih One for All" adalah pelajaran yang sangat mahal bagi setiap institusi, baik pemerintah maupun swasta.