Suara.com - Di tengah transisi kekuasaan yang masih hangat, riak-riak politik di bawah permukaan mulai menunjukkan gelombang yang mengkhawatirkan.
Seorang mantan perwira intelijen negara, Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra, melemparkan sebuah klaim eksplosif ke ruang publik: adanya dugaan operasi senyap dari barisan pendukung Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, yang disebutnya dapat mengancam stabilitas pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Chandra membongkar adanya informasi mengenai pertemuan-pertemuan rahasia yang ia sebut sebagai operasi berbahaya.
“Beberapa operasi garis dalam yang mereka lakukan sekarang bahkan lebih berkembang kepada persoalan – persoalan yang nanti dapat menggoyahkan kedaulatan. Ini ngeri,” ujar Chandra, dikutip dari YouTube Forum Keadilan TV, Jumat (8/8/25).
Dengan keyakinan penuh pada sumbernya, ia menunjuk satu titik panas yang spesifik.
“Karena saya dapat informasi yang sangat bisa dipercaya, bahwa pendukung Jokowi di Riau mengadakan rapat gelap,” imbuhnya.
Menurut Chandra, agenda pertemuan itu jauh melampaui sekadar konsolidasi politik biasa.
Isu yang diangkat adalah sesuatu yang tabu dan mengancam keutuhan negara.
“Mereka membahas wacana gerakan Riau Merdeka. Gila,” ucapnya tegas. Untuk menguatkan klaimnya, ia menambahkan, “Saya bisa dipercaya, karena dulu dia (yang memberi informasi) juga kaki tangan saya di lapangan.”
Baca Juga: Sinyal Lepas dari Cengkeraman Jokowi? Refly Harun: 'Permainan Catur' Prabowo
Ancaman Efek Domino dan Target Psikologis
Bagi Chandra, yang terbiasa membaca peta ancaman, manuver ini bukanlah sekadar gertakan lokal.
Ia melihatnya sebagai sebuah strategi terukur yang sasarannya adalah kewibawaan presiden yang baru.
“Ini sasarannya kan untuk mengganggu gusar nih kewibawaan presiden ya, kalau sampai ini muncul kembali,” ujarnya.
Lebih jauh, ia memprediksi bahwa Riau hanyalah pemicu.
Jika berhasil, api serupa bisa disulut di wilayah lain yang memiliki catatan sejarah kerawanan.
“Ini bukan terjadi begitu saja, dan mungkin nanti juga akan distimulir didaerah lain, mungkin Bali, Ambon,” jelasnya.
Chandra meluruskan bahwa ini bukanlah gerakan murni dari relawan, melainkan sebuah operasi yang lebih terencana, di mana para loyalis Jokowi mendekati tokoh-tokoh lama yang pernah menyuarakan kemerdekaan Riau.
“Saya tidak bisa mengatakan ini relawan, tapi ini adalah pendukung Jokowi yang mencoba mendekati mereka- mereka yang dulu sempat menggagas gerakan Riau Merdeka, terjadilah rapat untuk mewacanakan Kembali,” terangnya.
“Ini sangat tertutup sekali, mangkanya hanya sedikit orang yang mengetahui ini.”
Pemicunya, menurut Chandra, adalah langkah politik Prabowo yang memberikan Abolisi dan Amnesti kepada Tom Lembong serta Hasto Kristiyanto.
“Rapatnya sekitar 2 minggu yang lalu,” sebutnya.
“Pokoknya ini pasca Abolisi dan Amnesti, barulah mulai muncul itu.”
Chandra menganalisis bahwa metode ini sejalan dengan pola pergerakan mesin politik Jokowi yang ia sebut pragmatis.
“Jokowi itu menggerakkan mesin politiknya kekuatan massanya pada pragmatisme. Itulah mengapa Jokowi mudah, karena dengan mudahnya siram uang, jalan dan selalu begitu,” urainya.
Ia melihat ini sebagai bagian dari skenario yang lebih besar untuk memancing reaksi Prabowo.
“Kemudian munculah perorangan maki – maki Prabowo, muncul ini One Piece, nanti muncul lagi separatis. Dan semua ini terkait pada posisi kondisi psikologis Prabowo yang mudah terbakar,” sambungnya.
Puncak dari rencana ini, menurut informasi yang ia terima, adalah sebuah deklarasi terbuka.
“Nanti dia akan mencari waktu, Menyusun kekuatan massa dulu. Mereka akan melakukan deklarasi Riau Merdeka. Ini sangat berani, ini Tindakan separatis,” ujarnya.
“Ini sudah ada, tapi kita masih menyelidiki kapan itu akan terjadi,” katanya.
Manuver Prabowo: Menjauhi Jokowi atau Merangkul Lawan?
Di sisi lain, langkah Prabowo memberikan amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom Lembong, figur yang jelas-jelas berseberangan dengan Jokowi justru dibaca berbeda oleh analis politik.
Muncul narasi bahwa Prabowo mulai membangun jalannya sendiri dan mengambil jarak dari pengaruh pendahulunya.
Namun, analis politik M. Qodari menepis pandangan tersebut.
Menurutnya, tindakan Prabowo bukanlah sinyal perpisahan, melainkan langkah seorang negarawan.
Qodari menyebut, bagi seorang presiden, menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan politik adalah sebuah keharusan.
Dalam pembacaan ini, merangkul lawan politik bukanlah tanda menjauhi kawan lama, melainkan sebuah strategi untuk membangun fondasi politik yang kokoh demi stabilitas nasional sebuah langkah yang mungkin justru menjadi antitesis dari skenario destabilisasi yang diungkap oleh Chandra.