'Bapa Salah Kasih Kamu Kerja,' Penyesalan Pilu Ayah Prada Lucky dan Borok Kekerasan Senior di TNI

Minggu, 10 Agustus 2025 | 12:49 WIB
'Bapa Salah Kasih Kamu Kerja,' Penyesalan Pilu Ayah Prada Lucky dan Borok Kekerasan Senior di TNI
Kasus kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo menjadi perhatian banyak masyarakat. (ANTARA/Kornelis Kaha).

Suara.com - Sebuah isak tangis pilu datang dari seorang ayah yang juga seorang prajurit.

Sersan Mayor (Serma) Christian Namo harus menghadapi kenyataan pahit: putra kebanggaannya, Prajurit Dua atau Prada Lucky Chepril Saputra Namo, tewas bukan di medan perang, melainkan di tangan seniornya sendiri.

Penyesalan terdalam terdengar dari bibir Serma Christian, meratapi keputusan mengizinkan anaknya mengabdi pada negara.

"Anak ganteng, Lucky. Bapa salah, bapa salah kasih lu (kamu) kerja Lucky. Bapa sudah bilang kenapa lu mau jadi tentara. Bapa minta maaf," rintih Serma Christian di hadapan peti jenazah anaknya dikutip dari TikTok @kasus.prada.lucky, Minggu (10/8/2025).

Ucapan itu lebih dari sekadar ungkapan duka.

Itu adalah sebuah tamparan keras bagi institusi TNI, sebuah pengakuan getir dari seorang ayah yang merasa gagal melindungi anaknya di lingkungan yang ia kenal baik.

Ironisnya, Serma Christian adalah seorang anggota TNI aktif, namun pangkat dan pengabdiannya seolah tak berdaya menyelamatkan putranya dari budaya kekerasan yang mengakar.

Kronologi Tragis Kematian Prajurit Muda

Prada Lucky Chepril Saputra Namo (23) menghembuskan napas terakhirnya pada Rabu (6/8/2025), setelah menjalani perawatan intensif di RSUD Aeramo, Kabupaten Nagekeo, NTT.

Baca Juga: Jeritan Amarah Ayah Prada Lucky: Hukum Mati! Anak Saya Dibunuh, Bukan Gugur

Ia baru dua bulan menjadi prajurit dan bertugas di Batalion Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere.

Sebelum meninggal, Prada Lucky sempat mengaku kepada dokter yang merawatnya bahwa ia telah dianiaya oleh seniornya di barak.

Pengakuan ini menjadi bukti krusial yang mengarahkan penyelidikan pada dugaan penganiayaan berat.

Laporan menyebutkan tubuhnya penuh dengan luka lebam, sayatan, hingga bekas luka bakar.

Kasus ini bergerak cepat setelah menjadi sorotan publik.

Pusat Polisi Militer (Pomdam) IX/Udayana telah menetapkan empat prajurit senior sebagai tersangka, yaitu Pratu AA, Pratu EDA, Pratu PNBS, dan Pratu ARR.

Keempatnya kini ditahan, sementara belasan prajurit lain masih dalam pemeriksaan intensif.

Dalih 'Mental Baja' yang Berujung Peti Mati

Kematian Prada Lucky kembali membuka kotak pandora kekerasan di institusi aparat.

Mengapa praktik perpeloncoan dan penganiayaan berkedok "pembinaan mental" dan "tradisi senioritas" terus memakan korban?

Banyak yang berdalih bahwa kerasnya latihan fisik dan mental diperlukan untuk membentuk prajurit yang tangguh.

Namun, batas antara disiplin dan penyiksaan seringkali kabur.

Ketika seorang prajurit muda tewas dengan luka di sekujur tubuh, itu bukan lagi pembinaan, melainkan tindak pidana keji.

Psikolog militer menyoroti bahwa budaya senioritas yang berlebihan dapat menjadi akar dari kekerasan yang terus berulang.

Ada persepsi bahwa junior harus "dibentuk" dengan cara yang sama seperti senior mereka dulu, menciptakan siklus kekerasan yang tak terputus.

Kekuasaan absolut yang dimiliki senior terhadap junior, tanpa pengawasan ketat dari komandan, menjadi lahan subur bagi penyalahgunaan wewenang.

Serma Christian dengan lantang menyuarakan kepedihan dan kemarahannya.

"Saya tentara, tentara merah putih, jiwa saya merah putih. Kalau bisa semua dihukum mati. Biar tidak ada satu catatan, biar tidak ada Lucky yang lain, Lucky-Lucky yang lain. Ingat baik-baik. Anak tentara saja dibunuh kok, bagaimana mau yang lain," tegasnya.

Pernyataannya ini bukan hanya jeritan hati seorang ayah, tetapi juga kritik tajam dari "orang dalam" yang melihat ada duri dalam daging di tubuh institusinya sendiri.

Prada Lucky yang diduga tewas dianiaya senior. [Dok. Istimewa]
Prada Lucky yang diduga tewas dianiaya senior. [Dok. Istimewa]

Momentum untuk Reformasi Total

Pangdam IX/Udayana telah memerintahkan agar kasus ini diusut secara transparan hingga tuntas, sebuah janji yang harus dikawal oleh seluruh masyarakat.

Namun, menindak pelaku saja tidak cukup.

Kasus Prada Lucky harus menjadi momentum untuk evaluasi dan reformasi total terhadap sistem pendidikan dan pembinaan di tubuh TNI.

-Pengawasan Berlapis: Harus ada mekanisme pengawasan yang ketat dan independen untuk memantau interaksi antara senior dan junior di barak.

-Hukuman Tanpa Pandang Bulu: Pelaku kekerasan, berapapun pangkatnya, harus ditindak dengan hukuman maksimal yang setimpal, termasuk pemecatan tidak dengan hormat dan proses pidana.

-Edukasi Humanis: Kurikulum pendidikan militer harus diperbarui dengan menekankan nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi, dan kepemimpinan yang mengayomi, bukan menindas.

-Kanal Pengaduan Aman: Prajurit junior harus memiliki kanal yang aman dan rahasia untuk melaporkan segala bentuk kekerasan tanpa takut adanya intimidasi atau balasan dari senior.

Kematian Prada Lucky adalah tragedi bagi keluarganya dan luka bagi bangsa.

Jangan sampai seragam kebanggaan yang ia kenakan justru menjadi kain kafan yang mengantarnya ke liang lahat karena tradisi buta yang salah kaprah.

Penyesalan Serma Christian Namo harus menjadi pengingat abadi bagi para petinggi militer: tidak ada satu nyawa pun yang layak dikorbankan demi dalih mental baja.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI