Jeritan Amarah Ayah Prada Lucky: Hukum Mati! Anak Saya Dibunuh, Bukan Gugur

Tasmalinda Suara.Com
Sabtu, 09 Agustus 2025 | 18:34 WIB
Jeritan Amarah Ayah Prada Lucky: Hukum Mati! Anak Saya Dibunuh, Bukan Gugur
Peti Jenazah Prada Lucky Namo saat tiba di Bandara El Tari, Kupang, NTT, beberapa waktu lalu. [Digtara]

Suara.com - Di antara deru amarah dan duka yang tak terperi, sebuah kalimat mengoyak keheningan. "Anak saya dibunuh, bukan gugur!"

Kalimat itu meluncur dari bibir Sersan Mayor (Serma) Kristian Namo, seorang prajurit TNI aktif yang hatinya hancur berkeping-keping yang tidak lain, ialah ayah Prada Lucky.

Di hadapannya, terbaring jasad Prada Lucky, putranya, yang tewas bukan karena terjangan peluru musuh di medan perang, melainkan oleh siksaan brutal para seniornya di dalam barak.

Jeritan Serma Kristian adalah puncak dari ironi paling menyakitkan.

Tuntutannya untuk "hukuman mati" bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah deklarasi perang seorang ayah terhadap budaya kekerasan yang telah merenggut putranya.

Ini adalah kisah tentang seorang prajurit yang harus menghadapi musuh paling mengerikan: rekan-rekan di dalam institusi yang sama-sama mereka layani.

"Dibunuh, Bukan Gugur": Sebuah Perbedaan yang Menyakitkan

Bagi seorang prajurit dan keluarganya, kata "gugur" adalah sebuah kehormatan. Ia menyiratkan pengorbanan tertinggi demi bangsa dan negara.

Ada kebanggaan di balik duka. Namun, Serma Kristian dengan tegas menolak kata itu untuk putranya.

Baca Juga: 5 Fakta di Balik Jeritan Terakhir Prada Lucky: Tewas Usai Disiksa 20 Senior TNI?

Dengan mendeklarasikan anaknya "dibunuh", ia melakukan dua hal secara bersamaan:

Ia menolak narasi bahwa kematian Prada Lucky adalah bagian dari "risiko dinas".

Ia melabelinya sebagai tindakan kriminal biasa—sebuah pembunuhan yang keji.

Kata "dibunuh" menuntut adanya pembunuh yang harus diadili secara pidana, bukan sekadar pelanggar disiplin yang dihukum secara internal.

Ini adalah penolakan total terhadap segala upaya untuk menutupi kasus atau meringankan hukuman pelaku.

Seruan ini adalah perlawanan seorang ayah yang menolak anaknya dijadikan sekadar statistik korban senioritas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI