Suara.com - Ketenangan warga Desa Pauh, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), pecah oleh sebuah tragedi yang tak terbayangkan.
Sebilah gunting di tangan seorang bocah Sekolah Dasar (SD) telah merenggut nyawa temannya sendiri, seorang siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Peristiwa yang terjadi pada Jumat (8/8/2025) ini sontak viral dan menjadi tamparan keras, menyalakan kembali alarm darurat tentang tingkat kekerasan yang kini merasuk hingga ke dunia anak-anak.
Kasus ini bukan sekadar berita kriminal biasa, melainkan cerminan dari fenomena gunung es yang jauh lebih besar dan mengkhawatirkan.
Insiden ini mempertanyakan kembali peran sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam membina generasi muda yang seharusnya penuh empati, bukan menyimpan dendam yang berujung maut.
Kronologi Dendam Sesaat yang Berujung Petaka
Jumat siang itu, suasana yang seharusnya tenang pasca-ibadah salat Jumat berubah mencekam.
Semua berawal dari masalah yang kerap dianggap sepele di kalangan anak-anak: saling ejek.
Menurut informasi yang dihimpun pihak kepolisian, J (9), seorang siswa kelas 4 SD, terlibat cekcok dan saling ejek dengan R (13), siswa kelas 2 MTs.
Baca Juga: Ngevlog Sejak Usia 5 Tahun, Ini Cara Ryu Kintaro Bocah Perintis Bangun Personal Branding Sejak Dini
Perang mulut itu dengan cepat memanas dan bereskalasi menjadi kekerasan fisik.
Keduanya sempat terlibat aksi saling lempar batu dan kayu.
Merasa terdesak atau dikuasai amarah yang memuncak, J kemudian mengambil langkah fatal.
Ia dilaporkan pulang ke rumahnya untuk mengambil sebuah gunting.
Setelah kembali ke lokasi, tanpa pikir panjang, J langsung menusukkan gunting tersebut ke leher kiri R.[3][4]
Saksi mata dan warga yang mengetahui kejadian itu segera melarikan R ke Puskesmas Pauh untuk mendapatkan pertolongan.
Namun, luka parah di lehernya membuat nyawa siswa MTs itu tak dapat diselamatkan.
Ia dinyatakan meninggal dunia sekitar pukul 13.15 WIB.
Pihak kepolisian bersama perangkat desa segera mengamankan J untuk menghindari potensi amuk massa dan memulai proses hukum yang rumit, mengingat usia pelaku yang masih sangat belia.
"Dari hasil pemeriksaan, memang kebisaan pelaku selalu membawa gunting di kantongnya. Jadi dia bawa gunting itu bukan pas di hari kejadian, tapi sebelum kejadian juga sudah sering dibawanya," kata Kasat Reskrim Polres Muratara, Iptu Nasirin.
Bukan Kasus Pertama, Puncak Gunung Es Kekerasan Anak
Tragedi di Muratara ini, sayangnya, bukanlah insiden tunggal.
Peristiwa serupa pernah terjadi di Garut pada 2018, di mana duel maut dua bocah SD juga dipicu masalah sepele dan berakhir dengan penusukan menggunakan gunting.
Berbagai kasus perundungan (bullying) yang berujung kekerasan fatal di lingkungan sekolah terus bermunculan di berbagai daerah, seolah menjadi wabah yang sulit dihentikan.
Data dari berbagai lembaga perlindungan anak menunjukkan tren peningkatan kasus kekerasan yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku.
Ini adalah lampu kuning yang menyala terang, menandakan ada sesuatu yang salah dalam cara kita mendidik dan membentuk karakter anak-anak.
Emosi yang tidak terkelola, ketidakmampuan menyelesaikan konflik secara sehat, dan minimnya rasa empati menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Sekolah dan Masyarakat: Di Mana Peran Penumbuh Empati?
Kasus ini secara brutal menyoroti kegagalan kolektif dalam menanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Sekolah tidak boleh lagi hanya menjadi tempat transfer ilmu pengetahuan akademis.
Program anti-perundungan harus menjadi agenda wajib yang dijalankan secara serius, bukan sekadar formalitas.
Peran guru Bimbingan Konseling (BK) perlu diperkuat sebagai garda terdepan dalam mendeteksi dan menangani masalah psikologis siswa.
Pendidikan karakter dan social-emotional learning (SEL) harus menjadi bagian integral dari kurikulum.
Anak-anak perlu diajarkan cara mengenali, memahami, dan mengelola emosi mereka.
Mereka harus dilatih cara berempati—merasakan apa yang orang lain rasakan—dan menyelesaikan perselisihan tanpa harus menggunakan tinju atau senjata.
Di sisi lain, tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan ke pundak sekolah.
Keluarga adalah fondasi utama. Orang tua memiliki peran krusial dalam membangun kecerdasan emosional anak sejak dini.
Lingkungan masyarakat, termasuk konten yang dikonsumsi anak di media sosial dan game, juga turut membentuk persepsi mereka tentang kekerasan.
Ketika kekerasan dinormalisasi, anak-anak akan menganggapnya sebagai cara yang wajar untuk menyelesaikan masalah.