Kronologi Dokter Ahli Jantung Anak Tak Bisa Layani Pasien BPJS Padahal Mengabdi 28 Tahun di RSCM

Rifan Aditya Suara.Com
Rabu, 27 Agustus 2025 | 18:20 WIB
Kronologi Dokter Ahli Jantung Anak Tak Bisa Layani Pasien BPJS Padahal Mengabdi 28 Tahun di RSCM
dr. Piprim Basarah Yanuarso (ig/dr.piprim) - Kronologi Dokter Ahli Jantung Anak Tak Bisa Layani Pasien BPJS Padahal Mengabdi 28 Tahun di RSCM
Kesimpulan
  • Dimutasi mendadak dengan prosedur tak jelas, dr. Piprim Basarah protes
  • Bukan dapat penjelasan, dokter ahli jantung anak ini dicabut akunnya dan tak bisa layani pasien BPJS
  • Alasan Kemenkes hingga dugaan lain dipertanyakan publik

Suara.com - Antrean panjang dan ketidakpastian kini membayangi para pasien cilik penyakit jantung peserta BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.

Pangkal masalahnya adalah mutasi seorang dokter ahli jantung anak ternama, yang membuatnya tak lagi bisa melayani mereka. Dia adalah dr. Piprim Basarah.

Artikel ini akan mengupas tuntas kronologi di balik kebijakan kontroversial ini, menganalisis dampaknya pada pelayanan publik, dan mempertanyakan prioritas sistem kesehatan kita.

Apakah untuk efisiensi birokrasi atau kelangsungan nyawa pasien?

Siapakah dr. Piprim Basarah?

Dr.dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), bukan sekadar dokter biasa. Ia adalah seorang subspesialis kardiologi (jantung) anak yang telah mengabdi selama 28 tahun di RSCM.

Lebih dari itu, ia kini menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sebuah posisi sentral dalam dunia kesehatan anak di Indonesia.

Reputasinya sebagai salah satu dari segelintir ahli di bidangnya—dengan hanya sekitar 70 dokter subspesialis jantung anak di seluruh negeri—menjadikannya figur vital, baik dalam pelayanan maupun pendidikan kedokteran.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K). (Suara.com/Lilis Varwati)
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K). (Suara.com/Lilis Varwati)

Kronologi Mutasi yang Mengejutkan

Kontroversi ini bermula saat dr. Piprim menerima kabar mutasi dirinya dari RSCM ke RSUP Fatmawati. Berikut adalah rangkaian peristiwanya:

1. Surat Keputusan (SK) Mutasi

Baca Juga: Kini Tak Boleh Tangani Pasien BPJS, Ketua IDAI Ungkap Alasan Tolak Dimutasi: Ada Pelanggaran Serius

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan SK mutasi pada April 2025.

Namun, dr. Piprim mengaku baru mengetahui informasi tersebut secara tidak resmi melalui tangkapan layar pesan WhatsApp yang sudah beredar.

  • Penolakan Prosedur

Dr. Piprim menolak mutasi tersebut karena menganggapnya tidak prosedural dan melanggar asas meritokrasi bagi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menurutnya, pemindahan itu dilakukan secara mendadak tanpa mekanisme lolos butuh atau pemberitahuan yang layak.

  • Pembekuan Akun BPJS

Sebagai konsekuensi dari penolakannya, akun praktik BPJS milik dr. Piprim di RSCM dibekukan.

Pada 22 Agustus 2025, ia secara resmi mengumumkan tidak bisa lagi melayani pasien BPJS di RSCM, baik di Pusat Jantung Terpadu (PJT) maupun di Gedung Kiara.

  • Opsi Pasien Swasta

Pihak RSCM masih mengizinkan dr. Piprim untuk praktik, namun hanya di poliklinik swasta, RSCM Kencana.

Artinya, pasien yang ingin terus dirawat olehnya harus membayar secara mandiri dengan biaya sekitar Rp4 juta untuk sekali pemeriksaan, sebuah angka yang tidak terjangkau bagi mayoritas pasien BPJS.

2. Dampaknya Antrean Panjang dan Kekecewaan Pasien

Kebijakan ini bukan sekadar persoalan administratif. Dampaknya terasa langsung oleh pasien dan sistem pelayanan di RSCM.

Ketua Divisi Kardiologi Anak RSCM, Prof. Dr. dr. Mulyadi M. Djer, SpA(K), menyuarakan kekecewaannya.

"Keputusan mutasi bersifat mendadak dan tanpa adanya diskusi dengan kami," ujar Prof. Mulyadi.

Kepergian dr. Piprim secara tiba-tiba meninggalkan kekosongan besar.

Kini, RSCM hanya memiliki empat orang subspesialis jantung anak. Konsekuensinya sangat serius:

  • Antrean Pasien BPJS Semakin Panjang

Kapasitas pelayanan, terutama untuk tindakan intervensi jantung anak, otomatis berkurang.

Hal ini memperpanjang daftar tunggu dan meningkatkan risiko perburukan kondisi pada pasien yang membutuhkan penanganan cepat.

  • Pendidikan Terganggu

RSCM adalah salah satu dari empat pusat pendidikan yang bisa mencetak dokter subspesialis jantung anak.

Kehilangan seorang mentor senior seperti dr. Piprim dinilai akan mengganggu proses pendidikan para calon dokter ahli.

  • Keresahan Orang Tua Pasien

Para orang tua yang anaknya telah bertahun-tahun ditangani oleh dr. Piprim kini dihadapkan pada pilihan sulit mencari dokter lain dan memulai dari awal, atau menanggung biaya swasta yang sangat mahal.

Alasan Kemenkes vs Dugaan di Balik Kebijakan

Kementerian Kesehatan dan pihak RSCM memberikan justifikasi atas keputusan ini.

Menurut mereka, mutasi adalah hal yang wajar bagi ASN dan bertujuan untuk pemerataan layanan serta pengembangan di rumah sakit lain.

Versi Pemerintah

Kepala Biro Komunikasi Kemenkes, Aji Muhawarman, menyatakan mutasi ini adalah bagian dari rotasi untuk memenuhi kebutuhan mendesak di RS Fatmawati, yang hanya memiliki satu spesialis jantung anak yang akan segera pensiun.

Menkes Budi Gunadi Sadikin juga menegaskan bahwa dr. Piprim tetap bisa melayani pasien BPJS di lokasi barunya.

Direktur Utama RSCM, Supriyanto Dharmoredjo, menambahkan bahwa ini adalah bagian dari manajemen talenta untuk mengurai penumpukan pasien di RSCM.

Dugaan Konsekuensi Sikap Kritis

Namun, dr. Piprim menduga mutasi ini berkaitan dengan sikap kritis IDAI terhadap beberapa kebijakan Kemenkes.

Salah satunya rencana pengambilalihan kolegium oleh kementerian. Ia memandangnya sebagai "hukuman" terselubung.

Hal ini terlihat dari beberapa unggahan di akun media sosial dr. Piprim. Ia juga bahkan sempat menjadi narasumber dalam beberapa podcast yang membahas soal kebijakan Kemenkes.

Terlepas dari apa pun alasan di baliknya, kasus dr. Piprim telah membuka kotak pandora tentang kelemahan sistemik dalam manajemen tenaga kesehatan di Indonesia.

Mutasi dokter ahli seharusnya tidak mengorbankan kelangsungan perawatan pasien yang sudah berjalan.

Diperlukan sebuah protokol transisi yang manusiawi, yang memastikan tidak ada pasien yang "terlantar" akibat keputusan birokrasi.

Pelayanan kesehatan, terutama untuk anak-anak dengan kondisi kritis, harus menjadi prioritas tertinggi.

Kebijakan administratif harus mendukung, bukan menghambat, akses pasien terhadap perawatan terbaik.

Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan mari kita kawal bersama kasus yang menimpa dr. Piprim ini agar pelayanan kesehatan bagi anak-anak Indonesia menjadi lebih baik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?