Suara.com - Di tengah teriknya matahari Jakarta pada Kamis (28/8/2025), suara Rani, seorang buruh perempuan asal Indramayu, menggema di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta.
Ia adalah salah satu dari ribuan pekerja yang tergabung dalam aksi HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah). Namun Rani punya misi khusus: menyuarakan hak-hak buruh perempuan yang kerap terpinggirkan.
"Aksi ini penting, kalau aspirasi kita tidak sampaikan, maka dia tidak akan pernah tahu apa yang dirasakan oleh masyarakat, oleh rakyat, khususnya perempuan," ujar Rani dengan nada tegas, menjelaskan urgensi perjuangan mereka.
Rani menyoroti fenomena diskriminasi yang dialaminya dan rekan-rekan buruh perempuan lainnya, terutama di tengah budaya patriarki yang masih kuat dalam konstruksi sosial masyarakat.
Budaya ini seolah menempatkan perempuan sepenuhnya di bawah tanggung jawab suami, menciptakan ketidakadilan di dunia kerja.
"Misal gini, buruh perempuan yang sudah menikah haknya itu berbeda dengan buruh laki-laki yang sudah menikah," kata dia.
"Kalau laki-laki yang menikah, dia bisa menanggung anak dan istrinya, tapi kalau buruh perempuan, tidak bisa menanggung karena dia dianggap lajang," Rani menambahkan.
Ia mengkritisi keras pandangan ini. Bagi Rani, dalam konteks hubungan kerja, status pernikahan seharusnya tidak membedakan hak.
"Tentu haknya sama karena dia melakukan pekerjaan yang sama. Kewajiban yang sama, tapi kenapa dalam hal pengupahan, dalam hal kesejahteraan, diperlakukan berbeda?" ucap dia.
Baca Juga: Lucky Hakim Tegaskan Ular yang Dilepas ke Sawah Tak Berbahaya: Nanti Saya Contohkan Gigit Saya!
Perbedaan perlakuan ini, lanjut Rani, berdampak langsung pada Take Home Pay (THP) yang lebih rendah bagi buruh perempuan menikah.
"Karena wajib pajaknya, PTKP-nya, pekerja perempuan yang sudah menikah lebih kecil, karena dia dianggap lajang, termasuk hak-hak yang lain. Tentang tunjangan-tunjangan karena dia dianggap lajang, maka dia tidak bisa mendapatkan tunjangan keluarga dan tunjangan yang lain-lainnya," tambahnya, menggambarkan kesenjangan yang nyata.
Rani berharap, suara para buruh ini tidak hanya berhenti di jalanan, melainkan mendapat respons serius dari pemerintah dan DPR RI.
Sebagai "wakil rakyat", mereka seharusnya peduli dan memperjuangkan aspirasi ini.

"Karena kalau dia bilang adalah wakil rakyat, dia harus mewakili betul-betul apa yang menjadi aspirasi rakyat, tentang menaikan pajak, upah buruh, dan diskriminasi terhadap pekerja perempuan," pungkas Rani.
Aksi HOSTUM sendiri, yang berlangsung di depan Gedung DPR RI pada hari yang sama, membawa enam tuntutan utama.