- Sri Radjasa sebut demo bagian operasi garis dalam.
- Riza Chalid diduga pendana aksi karena dendam lama.
- Aparat dituding biarkan ricuh untuk lemahkan Prabowo.
Suara.com - Sebuah analisis tajam datang dari mantan intelijen negara, Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra, yang menyebut gelombang demonstrasi dan kerusuhan beberapa waktu terakhir bukanlah gerakan massa biasa.
Menurutnya, aksi-aksi tersebut merupakan bagian dari skenario besar yang ia sebut sebagai "operasi garis dalam" untuk mendelegitimasi dan melengserkan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam sebuah diskusi di podcast Forum Keadilan TV, Sri Radjasa dengan tegas menuding "orang-orang Jokowi" berada di balik operasi senyap ini.
Tujuannya jelas: menciptakan kekacauan dan membangun narasi kegagalan pemerintahan baru sejak awal.
"Saya menganggap bahwa demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir merupakan bagian dari operasi garis dalam yang dijalankan oleh ‘orang-orang Jokowi’ untuk menargetkan Presiden Prabowo. Tujuannya adalah mendelegitimasi pemerintahan dan melengserkan Prabowo dari jabatannya," ujar Sri Radjasa dikutip dari YouTube pada Rabu (3/9/2025).
Dalam terminologi intelijen, operasi garis dalam adalah taktik untuk menghancurkan lawan dari dalam, membuatnya seolah-olah hancur karena kelemahan internal.
Sri Radjasa membeberkan beberapa pilar utama yang menyokong operasi ini. Pertama, adanya unsur dendam pribadi dari tokoh kontroversial.
Ia menunjuk nama pengusaha Mohammad Riza Chalid sebagai salah satu motor penggerak.
Menurutnya, Riza memiliki motif pribadi terhadap Prabowo yang berakar dari Pilpres 2014.
Baca Juga: Presiden Prabowo Tunjuk AHY sebagai Wakilnya ke China, Gibran ke Mana?
"Riza Chalid memiliki dendam pribadi terhadap Prabowo karena merasa dikecewakan dan dikhianati terkait dana kampanye Pilpres 2014. Riza diduga menjadi penyandang dana dalam aksi ini," paparnya.
Faktor kedua, menurut Radjasa, adalah pembelokan isu demonstrasi. Gerakan yang awalnya menyuarakan tuntutan penangkapan Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka, secara sistematis digeser menjadi isu pembubaran DPR dengan tuduhan hedonisme.
"Isu awal demonstrasi yang menuntut penangkapan Jokowi dan Gibran dibelokkan menjadi isu pembubaran DPR karena dianggap hedonis dan tidak layak menjadi wakil rakyat," ungkapnya.
Lebih jauh, ia mengklaim adanya keterlibatan aparat dalam mengeskalasi situasi.
Radjasa secara spesifik menyebut istilah "Geng Solo", sebutan yang kerap merujuk pada lingkaran perwira tinggi TNI-Polri yang pernah bertugas di Surakarta semasa kepemimpinan Jokowi, sebagai pengendali di lapangan.
Ia menuding aparat kepolisian seolah sengaja membiarkan situasi memanas untuk menciptakan citra bahwa pemerintahan Prabowo represif dan gagal mengendalikan keamanan.