- Ferry Irwandi menyarankan untuk menelusuri 'dalang' di balik demo lewat algoritma media sosial.
- Ferry Irwandi memiliki teori yang disebut "Friction Shifting Theory", yang berfokus pada manipulasi algoritma
- Teori ini bekerja dengan menciptakan "gesekan" atau perdebatan berlapis
Suara.com - Sosok Ferry Irwandi, aktivis sekaligus founder Malaka Project, kembali menjadi sorotan usai menjadi pembicara dalam talkshow Rakyat Bersuara 'Di Balik Aksi Massa, Siapa Dalangnya?' pada Selasa (2/9/2025).
Dalam diskusi tersebut, Ferry Irwandi menjelaskan bahwa demo 25 Agustus 2025 kemarin bukanlah murni dari mahasiswa atau buruh, seperti yang terjadi pada 28 Agustus 2025.
Bila ingin menyelidiki 'dalang' dari demo 25 Agustus 2025, Ferry Irwandi menyarankan untuk menelusurinya lewat alogaritma media sosial. Ia menilai media sosial bisa menjadi 'alat' pertama untuk mengungkap sumber apinya.
Ferry Irwandi berkata demikian karena ia memang ahli dalam bidang analisis data. Pasalnya, studi doktoralnya berkaitan langsung dengan alogaritma, yang mana masuk dalam bidang data science.
"Kita ngelanjutin masalah alogaritma dulu. Oke, kebetulan doktoral saya soal data analytics dan bukan cuma membahas teorinya, saya juga menerapkannya," tutur Ferry Irwandi.
Diketahui, Ferry Irwandi mengenyam pendidikan S3 atau mengambil gelar PhD-nya di Monash University, Australia. Ia juga melakukan penelitian terhadap alogaritma dengan tajuk 'Friction Shifting Theory' (FST).
"Mungkin sekarang bisa (cari) di Chat GPT 'Friction Shifting Theory'. Itu sudah keluar teori alogaritma dan data analisis dari Ferry Irwandi," sambungnya.
Lantas, Apa Isi dari Friction Shifting Theory?
Pernah merasa linimasa media sosial tiba-tiba dipenuhi topik yang sebelumnya jarang dibahas? Jika dulu penuh dengan konten hiburan ringan, kini diskusi soal filsafat, kritik pendidikan, hingga isu-isu sosial yang kompleks semakin mendominasi.
Baca Juga: Ferry Irwandi S2 di Mana? Rekam Jejak Akademiknya Mentereng
Fenomena tersebut, menurut Ferry Irwandi, bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari sebuah mekanisme yang bisa dirancang.
Teori itu lahir dari riset doktoral Ferry Irwandi yang menawarkan sebuah pendekatan revolusioner dalam dunia komunikasi digital, yakni memanipulasi dan "membelokkan" cara kerja algoritma media sosial untuk membentuk kehendak publik.
“Algoritma itu enggak pernah netral. Ia selalu mencari konten yang bisa meningkatkan atensi pengguna,” jelas Ferry.
Artinya, media sosial merupakan mesin kurasi yang aktif memilih, memperbesar, dan melanggengkan isu tertentu demi keuntungan platform itu sendiri. Di sinilah Friction Shuffling Theory mengambil peran.
Bagaimana Cara Kerja Friction Shuffling Theory?
Alih-alih sekadar mengejar atensi sesaat, FST bekerja dengan memanfaatkan sifat algoritma yang prediktif dan repetitif untuk menciptakan "gesekan" atau perdebatan yang berlapis-lapis.
Cara kerjanya dapat diilustrasikan sebagai berikut:
- Pemicu Isu: Seseorang atau sekelompok orang secara sengaja melempar sebuah isu yang kontroversial atau memancing perdebatan. Contohnya, sebuah gagasan ekstrem seperti “hapus jurusan filsafat di kampus.”
- Menciptakan Loop Interaksi: Isu pemicu ini akan direspons oleh algoritma dengan menyajikannya ke berbagai audiens. Respons yang muncul akan beragam, yakni ada yang mendukung, menolak keras, membantah dengan data, hingga menjadikannya parodi.
- Algoritma Bekerja: Keragaman reaksi ini menciptakan siklus interaksi atau loop yang tak berujung. Algoritma membaca ini sebagai sinyal bahwa topik tersebut memiliki tingkat atensi yang tinggi, sehingga akan terus menyebarkannya ke audiens yang lebih luas.
- Pergeseran Dominasi Topik: Jika strategi ini dilakukan secara masif dan serentak oleh banyak pihak, topik yang awalnya sepi dan tidak dianggap penting bisa mendominasi percakapan digital, alias "memaksa" algoritma untuk berbelok.
Ferry mengklaim uji coba awal teorinya ini telah menunjukkan hasil yang signifikan. Pada periode Juni–Juli 2025, percakapan mengenai filsafat di media sosial melonjak hingga 650%.
Tidak hanya itu, dampaknya terasa hingga ke dunia nyata, di mana penjualan buku-buku filsafat dan produk terkait ikut meningkat tajam.
Ferry Irwandi menegaskan bahwa Friction Shuffling Theory bukan sekadar trik untuk menjadi viral. Lebih dari itu, ia melihatnya sebagai model baru komunikasi massa yang memungkinkan publik untuk mengambil alih kendali atas narasi yang beredar.
Itu adalah sebuah pengingat bahwa algoritma bukanlah entitas pasif, melainkan sebuah arena pertarungan ide yang bisa, dan mungkin bisa, dimanipulasi untuk kepentingan yang lebih luas.
Teori yang masih dalam tahap pengujian beta ini berpotensi mengubah lanskap komunikasi digital secara global.
Ferry Irwandi ingin membuka mata publik bahwa di era digital ini, siapa pun yang memahami cara kerja "gesekan" informasi memiliki kekuatan untuk mengubah percakapan, dan bahkan, perilaku masyarakat.