Peringatan Ulta Levenia soal Ancaman Intervensi Asing di Indonesia

Dythia Novianty Suara.Com
Rabu, 10 September 2025 | 07:38 WIB
Peringatan Ulta Levenia soal Ancaman Intervensi Asing di Indonesia
Pakar terorisme Ulta Levenia dalam podcast di kanal YouTube Deddy Corbuzier pada Selasa (9/9/2025). [Tangkapan layar]
Baca 10 detik
  • Color Revolution dapat dimanfaatkan aktor asing untuk menggoyang stabilitas politik Indonesia
  • Ketidakpuasan publik akibat kesenjangan sosial jadi celah untuk delegitimasi pemerintah
  • Ulta Levenia menyerukan kewaspadaan publik dan literasi politik sebagai pertahanan bangsa

Suara.com - Dalam wawancara tajam di kanal YouTube Deddy Corbuzier pada Selasa (9/9/2025), pakar terorisme Ulta Levenia mengungkap analisis kritis soal Color Revolution dan konsep relative deprivation, yang dinilai berpotensi menjadi alat intervensi asing terhadap stabilitas politik nasional, terutama di tengah gejolak ekonomi dan sosial.

Ulta menyoroti bahwa Color Revolution, seperti tercatat dalam berbagai peristiwa global, kerap dimotori oleh kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.

Mereka dipersatukan oleh simbol warna dan narasi ketidakadilan, yang sengaja dibentuk untuk menciptakan legitimasi moral dalam menentang kekuasaan yang sah.

Mengutip teori dari Ted Robert Gurr dalam buku Why Men Rebel, Ulta menjelaskan bahwa relative deprivation, yakni perasaan ketertinggalan meskipun secara material tidak miskin,bisa dimanfaatkan untuk memicu ketegangan sosial.

"Ketika masyarakat dibuat merasa menderita dengan membandingkan diri pada elit politik yang hidup mewah, itulah titik rawan dimulainya instabilitas," ujar Ulta.

Dalam konteks Indonesia, ia menyoroti tindakan pejabat publik yang "flexing" di media sosial dan menerima fasilitas negara secara berlebihan, di tengah badai PHK massal dan tekanan ekonomi sebagai contoh konkret penyebab meningkatnya ketidakpuasan publik.

Hal ini menurutnya bisa menjadi amunisi bagi aktor asing untuk mendeligitimasi pemerintahan yang dianggap tidak kooperatif dengan agenda global.

“Presiden yang menolak tunduk pada tekanan kekuatan asing akan jadi sasaran delegitimasi lewat instrumen keresahan rakyat,” katanya dengan nada serius.

Ulta juga memperingatkan tentang posisi strategis Indonesia dalam geopolitik internasional yang kerap membuatnya menjadi target berbagai operasi pengaruh.

Baca Juga: Prabowo Sebut Ada Makar dan Terorisme, Ferry Irwandi: Ibarat Kapal Tenggelam, Jangan Salahkan Air

Ia menyebut bahwa “Indonesia terlalu penting untuk dibiarkan netral,” dan oleh karena itu selalu ada upaya campur tangan dari kekuatan global.

Sebagai bentuk perlawanan, Ulta menyerukan agar publik meningkatkan literasi politik dan berpikir kritis terhadap narasi dominan, termasuk yang disebarluaskan oleh media arus utama.

Ia menegaskan pentingnya mempertanyakan segala informasi, sekalipun datang dari sumber yang tampak kredibel.

“Jangan telan mentah-mentah. Media bisa salah, opini publik bisa dibentuk. Kita harus cari kebenaran meski tak populer,” tegasnya.

Dalam konteks politik nasional yang saat ini tengah diwarnai isu reshuffle kabinet dan manuver elit, Ulta menegaskan bahwa kewaspadaan masyarakat adalah benteng terakhir dalam menjaga kedaulatan dan independensi bangsa dari ancaman proxy war dan infiltrasi ideologis berkedok perubahan.


Reporter: Maylaffayza Adinda Hollaoena

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI