- Demo di Nepal membuat PM Nepal, KP Sharma Oli mengundurkan diri
- Sebelumnya ada PM yang dianggap lebih baik dengan kepeduliannya kepada rakyat
- Manmohan Adhikari yang datang dengan paham komunis bisa menyejahterakan rakyat namun hanya 9 bulan menjabat PM Nepal
Suara.com - Beberapa waktu lalu, gejolak politik Nepal kembali mencuri perhatian dunia.
Demonstrasi besar-besaran yang diinisiasi oleh generasi muda, atau yang dikenal sebagai Gen Z, mengguncang ibu kota Kathmandu, menuntut diakhirinya korupsi dan tata kelola pemerintahan yang buruk.
Puncaknya, Perdana Menteri KP Sharma Oli terpaksa mengundurkan diri setelah protes yang awalnya dipicu oleh pemblokiran media sosial ini berujung pada kekerasan dan korban jiwa.
Insiden ini membuka kembali perdebatan tentang kualitas kepemimpinan di Nepal.
Lalu, siapakah sosok perdana menteri terbaik Nepal yang bisa menjadi cerminan kontras bagi era KP Sharma Oli?
Era KP Sharma Oli: Ketika Kemarahan Gen Z Meledak
Jabatan PM KP Sharma Oli, terutama dalam periode terakhirnya (2018-2021 dan sempat kembali 2024-2025), diwarnai oleh berbagai kontroversi.
Pemicu utama demonstrasi yang menggulingkannya pada September 2025 adalah langkah pemerintahannya memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, X, YouTube, Instagram, dan WhatsApp.
Kebijakan ini, yang diklaim untuk mengatasi misinformasi dan penipuan, justru dianggap sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat dan memicu kemarahan publik, terutama kaum muda yang sangat bergantung pada platform tersebut untuk komunikasi dan berekspresi.
Baca Juga: Krisis Nepal Membara! Parlemen Hangus, Pemerintah Jatuh, Militer Ambil Alih
Di balik pemblokiran medsos, terdapat bara api ketidakpuasan yang lebih dalam.
Tuduhan korupsi, nepotisme yang merajalela, dan gaya hidup mewah para politikus serta "Nepo Kids" mereka menjadi bahan bakar utama protes.
Skandal seperti penipuan visa yang melibatkan kementerian dalam negeri semakin mengikis kepercayaan publik.
Secara ekonomi, meskipun Oli mengklaim adanya pertumbuhan ekspor, Nepal menghadapi tingkat pengangguran kaum muda yang tinggi, mencapai 20-22,7 persen serta kemiskinan ekstrem yang persisten, memaksa jutaan warga mencari pekerjaan di luar negeri.
Proyek-proyek pembangunan pun banyak yang macet atau tidak selesai.
Respon aparat keamanan di bawah kepemimpinan Oli menjadi sorotan tajam.
Polisi menggunakan "kekuatan mematikan", gas air mata, peluru karet, dan bahkan peluru tajam untuk membubarkan massa.
Akibatnya, setidaknya 19 hingga 22 orang tewas dan ratusan lainnya terluka.
PBB pun menyerukan penyelidikan atas "penggunaan kekuatan yang tidak proporsional" oleh pasukan keamanan Nepal.
Insiden ini menunjukkan kegagalan negara dalam mengayomi warganya, terutama kaum muda yang menuntut perubahan.
Manmohan Adhikari: Membangun Kesejahteraan dengan Sentuhan Sosial

Untuk mencari perbandingan, kita dapat menengok ke belakang pada sosok Manmohan Adhikari, perdana menteri komunis pertama Nepal yang menjabat singkat dari November 1994 hingga September 1995.
Meskipun hanya berkuasa selama sembilan bulan, Adhikari meninggalkan warisan kepemimpinan yang berfokus pada kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi yang berpihak pada rakyat.
Adhikari dikenal dengan program-program progresif yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat dan mengurangi kemiskinan.
Salah satu inisiatifnya yang paling populer adalah program "Let's Build Our Village Ourselves" (Mari Kita Bangun Desa Kita Sendiri) dan "Old-Age Allowance for Senior Citizens" (Tunjangan Hari Tua untuk Warga Lansia).
Program tunjangan hari tua bahkan menjadi model jaminan sosial di Asia Selatan, mengubah pandangan masyarakat terhadap lansia dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Adhikari juga mengadvokasi pemberdayaan komunitas yang terpinggirkan seperti Dalit dan Janajati, serta fokus pada reformasi lahan, pendidikan, dan peningkatan layanan kesehatan.
Berbeda dengan tuduhan korupsi yang melingkupi era Oli, Adhikari dikenang sebagai pemimpin yang sederhana, jujur, dan berintegritas.
Latar belakangnya sebagai aktivis yang pernah dipenjara selama 14 tahun karena memperjuangkan demokrasi menunjukkan pemahaman dan penghargaan yang mendalam terhadap hak-hak fundamental rakyat, termasuk hak untuk berdemonstrasi secara damai.
Dalam konteks ekonomi, meskipun Nepal di era 90-an masih menghadapi tantangan, masa kepemimpinan Adhikari dianggap meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan pembangunan yang inklusif.
Perbandingan Kritis: Keamanan, Kesejahteraan, dan Kebebasan
Perbandingan antara kedua era kepemimpinan ini menyoroti perbedaan fundamental dalam pendekatan terhadap rakyat dan negara:
Keamanan dan Kesejahteraan
Di bawah Adhikari, fokus ada pada jaminan sosial dan program-program yang secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada catatan mengenai penanganan demo brutal.
Sebaliknya, era Oli diselimuti kekerasan aparat yang merenggut nyawa, menciptakan rasa tidak aman bagi warga yang menyuarakan haknya.
Perekonomian dan Harapan Generasi Muda
Adhikari mengedepankan pembangunan ekonomi yang berbasis pada kebutuhan rakyat dan pemberdayaan komunitas.
Sementara itu, di bawah Oli, ketimpangan dan pengangguran kaum muda tetap menjadi masalah serius, memicu frustrasi yang dalam di kalangan Gen Z.
Kebebasan Berekspresi dan Respon Publik
Manmohan Adhikari, sebagai pemimpin yang berjuang untuk demokrasi, secara implisit menghargai ruang publik.
Di sisi lain, KP Sharma Oli justru memblokir media sosial, platform vital bagi Gen Z, yang pada akhirnya menyulut revolusi digital yang berakhir dengan pengunduran dirinya.
Ini adalah pelajaran pahit tentang dampak pembatasan kebebasan di era digital.
Demonstrasi yang dipelopori Gen Z di Nepal adalah pengingat kuat bahwa pemimpin harus mendengarkan suara rakyat, terutama generasi muda.
Mereka menuntut bukan hanya janji-janji, tetapi juga akuntabilitas, transparansi, dan tata kelola yang bersih.
Kisah Manmohan Adhikari menunjukkan bahwa meskipun dalam waktu singkat, seorang pemimpin dapat membuat dampak positif yang abadi melalui kebijakan yang berorientasi pada rakyat dan integritas pribadi.
Pemerintah Nepal di masa depan harus belajar dari pengalaman ini, kepemimpinan yang sewenang-wenang, anti-kritik, dan represif terhadap kebebasan berekspresi, terutama di ranah digital, tidak akan bertahan lama.
Generasi yang terhubung dan berdaya tentu akan lebih terbuka dalam melihat polemik untuk mencari solusi, bukan dibatasi.
Sebuah kepolisian yang kuat dan mengayomi warga adalah fondasi keamanan, bukan alat untuk menindas.