- Jatam mengjukan Amicus Curiae ke Pengadilan Negeri Soasio yang menyidangkan 11 warga Adat Maba Sangaji penentang tambang ilegal PT Position.
- Dakwaan terhadap 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji didasarkan pada pasal-pasal hukum yang usang, tidak relevan, serta untuk membungkam hak asasi.
- Izin PT Position dinilai ilegal, sementara 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji justru sedang menjalankan hak konstitusionalnya mempertahankan hutan adat.
Suara.com - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional dan Simpul Jatam di Maluku Utara pada pekan ini mengajukan Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan ke Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan yang menyidangkan 11 warga Adat Maba Sangaji penentang tambang ilegal PT Position.
Dokumen Amicus Curiae tersebut diserahkan oleh Julfikar Sangaji selaku Dinamisator JATAM Maluku Utara kepada Asma Fandun, S.H., M.H., Ketua Majelis Hakim yang memimpin sidang atas terdakwa 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji pada Rabu (1/10/2025).
Jatam, dalam siaran persnya, menerangkan dokumen tersebut secara ringkas menjelaskan bahwa dakwaan terhadap 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji didasarkan pada pasal-pasal hukum yang usang dan tidak relevan, serta digunakan untuk kriminalisasi tanpa dasar yang jelas.
"Oleh karena itu, Jatam secara tegas menyatakan bahwa dakwaan ini tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga melanggar hak konstitusional dan hak asasi manusia yang dijamin oleh negara," terang Jatam.
Terlebih lagi salah satu pasal yang digunakan dinilai sebagai alat pembungkaman (SLAPP) terhadap warga yang menolak tambang ilegal. Pasal yang dimaksud adalah pasal 162 UU Minerba.
"Izin PT Position terbukti cacat prosedural karena diterbitkan tanpa persetujuan masyarakat adat (FPIC). Ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara. Sehingga warga Maba Sangaji sedang menjalankan hak konstitusionalnya mempertahankan hutan adat, bukan menghalangi tambang ilegal," terang Jatam.
Adapun pasal yang digunakan dalam dakwaan 11 warga adat Maba Sangaji adalah UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Tajam. Aturan ini sudah tidak relevan dan cacat hukum substantif.
UU ini lahir di masa darurat 1950-an yang jelas berbeda situasi saat ini. Parang, tombak, dan pisau yang dibawa warga Maba Sangaji adalah alat tradisional dan alat kerja sehari-hari dalam pertanian dan pengelolaan hutan.
Pasal 2 ayat (2) UU tersebut secara eksplisit mengecualikan alat-alat seperti ini dari kategorisasi senjata kriminal.
"Menggunakan pasal ini dalam menjerat warga adat adalah kriminalisasi tanpa dasar hukum yang sah dan bertentangan dengan asas legalitas yang mempersyaratkan kepastian dan kejelasan hukum," tulis Jatam.
Baca Juga: Korban Kriminalisasi PT Position Minta Prabowo Bebaskan Mereka: Bapak Jadi Presiden karena Kami!
Kedua, dakwaan pemerasan Pasal 368 KUHP adalah penyalahgunaan hukum. Faktanya, warga Maba Sangaji tidak berniat mencari keuntungan materi. Mereka hanya menuntut penghentian sementara operasi tambang dengan menyerahkan kunci alat berat secara sukarela dan di hadapan aparat kepolisian dan TNI sebagai saksi.
"Tidak ada unsur paksaan, ancaman, atau permintaan uang. Dakwaan ini justru merupakan upaya kriminalisasi terhadap perlindungan hak hidup, tanah, dan lingkungan oleh masyarakat adat," imbuh Jatam.
Lebih lanjut Jatam menerangkan UUD 1945 menjamin hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat secara jelas dalam Pasal 28E ayat (3). Pasal 28H ayat (1) menegaskan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sementara Pasal 18B ayat (2) mengakui dan melindungi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Selain itu, Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 memberikan perlindungan Anti-SLAPP kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup.
Secara internasional, Indonesia terikat pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yang menjamin hak atas partisipasi publik, lingkungan hidup sehat, dan kebebasan berekspresi.
"Kriminalisasi terhadap warga Maba Sangaji sama dengan pelanggaran kewajiban internasional negara" simpul Jatam.