- Polri memperluas penyelidikan kasus korupsi PLTU Kalbar 1 dengan menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
- Empat tersangka telah ditetapkan, termasuk Halim Kalla (adik mantan Wapres Jusuf Kalla), yang diduga terlibat dalam skema persekongkolan lelang
- Proyek yang mangkrak sejak 2016 ini telah merugikan keuangan negara sebesar Rp323 miliar dan 62,4 juta dolar AS
Suara.com - Babak baru dalam megaskandal korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) dimulai. Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri kini membidik dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan aliran dana puluhan miliar rupiah dari proyek yang mangkrak tersebut.
Penyelidikan ini mengarah pada penelusuran aset dan dana para pihak yang diduga kuat menikmati hasil korupsi, memperdalam luka kerugian negara yang sudah mencapai triliunan rupiah.
Empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk nama besar di dunia bisnis, Halim Kalla, yang merupakan adik dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kepala Kortastipidkor Polri, Irjen Pol. Cahyono Wibowo, mengonfirmasi bahwa kasus ini akan diperluas dengan jeratan pasal pencucian uang untuk memastikan tidak ada aset hasil kejahatan yang lolos.
“Kami nanti ada akan rilis kembali terkait pihak yang akan kami tetapkan (tersangka), kemudian dengan dilapisi pasal TPPU-nya,” kata Irjen Pol. Cahyono Wibowo di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Polri secara aktif melacak aliran dana haram ini. Penelusuran awal menunjukkan adanya penerimaan dana oleh beberapa pihak yang kini tengah didalami lebih lanjut. Aset senilai puluhan miliar rupiah diperkirakan menjadi target penyitaan.
“Dari hasil penelusuran kami, ada beberapa pihak yang sudah ada penerimaan aliran dana. Untuk mendalami dan menyempurnakan itu, kami perlu juga beberapa bukti. Mungkin akan kami rilis pada kemudian hari,” tambah Cahyono sebagaimana dilansir Antara.
Skandal ini berawal dari proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar yang dimenangkan oleh Konsorsium Operasi (KSO) PT BRN. Namun, pengerjaan proyek vital ini justru dialihkan seluruhnya kepada PT Praba Indopersada (PI), sebuah perusahaan yang dinilai tidak kompeten. Pengalihan inilah yang menjadi sumber malapetaka.
“Dari PT Praba inilah menjadi suatu permasalahan. Sebenarnya dari awal juga seperti itu. Jadi, puncaknya ada PT Praba di mana alat-alat yang dikirim juga itu under specification (tidak sesuai spesifikasi) sehingga ini mengakibatkan juga sangat kompleks permasalahan (pembangunan) mangkrak itu,” jelas Cahyono.
Baca Juga: Profil Halim Kalla Tersangka Korupsi PLTU: Adik Jusuf Kalla, Pionir Bioskop Digital-Mobil Listrik
Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri, Brigjen Pol. Totok Suharyanto, merinci empat nama yang telah menyandang status tersangka. Mereka adalah FM selaku mantan direktur perusahaan listrik milik negara, HK (Halim Kalla) selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Direktur Utama PT BRN, dan HYL selaku Direktur Utama PT Praba Indopersada.
Modus operandi korupsi ini diduga telah dirancang sejak awal. Totok memaparkan bahwa pada lelang tahun 2008, terjadi persekongkolan untuk memenangkan PT BRN, meskipun konsorsium tersebut tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis.
"Selain itu, diduga kuat bahwa perusahaan Alton dan OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN," ucap Totok.
Setelah menang, PT BRN langsung mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada, yang ironisnya juga tidak memiliki kapasitas untuk proyek sebesar PLTU. Kontrak senilai 80,8 juta dolar AS dan lebih dari Rp507 miliar ditandatangani, namun proyek tersebut berhenti total pada tahun 2016 dengan progres hanya 85,56%.
Meskipun gagal total, negara telah terlanjur menggelontorkan dana fantastis kepada KSO BRN. "Akan tetapi, fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari perusahaan listrik milik negara sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta dolar AS," tegas Totok.
Jumlah pembayaran atas proyek yang tak kunjung selesai inilah yang kemudian ditetapkan sebagai total kerugian keuangan negara.