- IPB University bersama para pakar dan pelaku usaha menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pengembangan Kawasan Puncak yang Berkelanjutan” untuk membahas arah pengelolaan kawasan konservasi sekaligus wisata nasional itu.
- Dalam forum ini, IPB menekankan pentingnya sinergi antara ekologi, ekonomi, dan sosial agar pembangunan di Puncak tak merusak alam.
- FGD juga menghasilkan tiga rekomendasi utama, mulai dari harmonisasi kebijakan hingga penerapan perizinan berbasis kinerja lingkungan dan tanggung jawab sosial bagi masyarakat lokal.
Suara.com - IPB University bersama para pakar lintas disiplin dan pelaku usaha menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Pengembangan Kawasan Puncak yang Berkelanjutan: Melestarikan Kawasan Puncak dan Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Regional”. Forum ini membahas arah pengelolaan Kawasan Puncak agar bisa menyeimbangkan kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial secara berkelanjutan.
Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, selama ini dikenal sebagai destinasi wisata favorit sekaligus kawasan konservasi penting. Statusnya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) menjadikan Puncak punya peran ganda: menjaga fungsi ekologis sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis wisata alam.
Namun, di lapangan, pengelolaan kawasan ini masih menghadapi berbagai tantangan. Tumpang tindih kewenangan dan regulasi antara pemerintah pusat dan daerah kerap menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha maupun investor. Karena itu, IPB menilai perlu ada langkah penyelarasan kebijakan yang lebih terintegrasi dan berorientasi pada keberlanjutan.
Ekologi dan Ekonomi Harus Jalan Bersama
Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB University, Prof. Dr. Sofyan Sjaf, menegaskan bahwa pembangunan di kawasan Puncak tidak semata soal investasi.
“Kawasan ini harus menjadi contoh sinergi antara ekologi dan ekonomi. Kita perlu membuktikan bahwa pembangunan bisa berjalan tanpa merusak alam,” ujarnya.
Menurutnya, pembangunan di kawasan Puncak perlu mempertimbangkan tiga hal utama: perlindungan ekosistem strategis, pelestarian budaya, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Salah satu yang disorot dalam FGD adalah EIGER Adventure Land di Megamendung, yang dinilai berhasil menerapkan konsep ekowisata berkelanjutan dengan prinsip 5P (People, Planet, Prosperity, Peace, Partnership) dan 7E (Ekologi, Etnologi, Ekonomi, Edukasi, Estetika, Etika, Entertainment).
Dari sisi lingkungan, mereka menjalankan program “One Ticket One Tree” yang menargetkan penanaman satu juta pohon. Sejak 2021, lebih dari 96.000 pohon sudah ditanam di hulu DAS Ciliwung, disertai pembangunan sumur resapan dan kolam retensi untuk menjaga daya serap air dan mencegah banjir.
Baca Juga: Kolaborasi GEF SGP Indonesia dan IPB Dorong Inovasi Komoditas Berbasis Masyarakat
Selain itu, EIGER Adventure Land juga bekerja sama dengan pemerintah dalam memulihkan ekosistem Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan mengembalikan aset negara yang sempat dikuasai secara ilegal sejak 1998.
Dari sisi sosial dan ekonomi, proyek ini menciptakan lebih dari 1.200 lapangan kerja dan bermitra dengan UMKM serta komunitas budaya Sunda untuk menjaga nilai lokal sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat.
Pakar Hukum: Fokus pada Perbaikan, Bukan Pencabutan Izin
Dalam sesi hukum dan tata kelola lingkungan, sejumlah pakar menilai pencabutan izin beberapa pelaku usaha di kawasan Puncak perlu dikaji ulang. Ada indikasi ketidaksesuaian prosedur dengan Permen LHK No.14/2024 dan UU No.30/2014.
Para ahli hukum dan lingkungan sepakat bahwa pendekatan yang lebih konstruktif adalah melalui rencana aksi perbaikan (Corrective Action Plan), bukan pencabutan izin, selama tidak ditemukan pelanggaran berat terhadap lingkungan.
Dari hasil diskusi, IPB University dan para peserta FGD merumuskan tiga rekomendasi utama: