- Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) secara resmi telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (18/11/2025)
- DPR RI lewat Komisi III yang juga Panitia Kerja (Panja) pembahasan RKUHAP buru-buru memberikan bantahan kalau aturan baru KUHAP tidak membahayakan
- RKUHAP yang baru juga disebut jika polisi nanti bisa sewenang-wenang menangkap, menggeledah, melakukan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana
Suara.com - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP secara resmi telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (18/11/2025). Namun RKUHAP dianggap masih belum sempurna dan mendapat sorotan.
DPR RI lewat Komisi III yang juga Panitia Kerja (Panja) pembahasan RKUHAP buru-buru memberikan bantahan kalau aturan baru KUHAP tidak membahayakan.
Dalam sorotan, UU KUHAP baru ini sempat disebut bisa menyadap secara sewenang-wenang tanpa izin pengadilan, kemudian membekukan sepihak tabungan dan semua jejak online, mengambil HP, laptop, hingga data.
RKUHAP yang baru juga disebut jika polisi nanti bisa sewenang-wenang menangkap, menggeledah, melakukan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana.
Namun bagaimana fakta sebenarnya dan bagaimana isi pasal-pasal yang disebut bermasalah tersebut dalam UU KUHAP yang baru?
Berdasarkan draf UU KUHAP yang baru yang sudah diunggah situs resmi DPR RI, Suara.com coba membedahnya satu persatu pasal yang dianggap bermasalah.
Pertama soal penyadapan. Hal itu terdapat pada Pasal 136 bagian Ketujuh soal Penyadapan.
Ayat 1 menyebutkan "Penyidik dapat melakukan Penyadapan untuk kepentingan Penyidikan."
Ayat 2 menyebutkan "Ketentuan mengenai Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang Undang mengenai penyadapan.
Baca Juga: KUHAP Baru Akhirnya Sah Gantikan Aturan Lama Warisan Kolonial, Apa Saja Poin Pentingnya?
Dari situ terlihat jika ketentuan soal penyadapan akan diatur khusus nantinya lewat Undang-Undang tentang Penyadapan.
Kemudian soal pemblokiran. Hal itu terdapat dalam Pasal 140 Bagian kesembilan soal Pemblokiran.
Ayat 1 menyebut "Pemblokiran dapat dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim."
Ayat 2 menyebut "Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin ketua pengadilan negeri."
Ayat 3 menyebut "Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat informasi lengkap mengenai alasan perlunya dilakukan pemblokiran minimal meliputi:
- uraian tindak pidana yang sedang diproses;
- dasar atau fakta yang menunjukkan objek yang akan diblokir memiliki relevansi dengan tindak pidana yang sedang diproses dan sumber perolehan dasar atau fakta tersebut; dan
- bentuk dan tujuan Pemblokiran yang akan dilakukan"
Ayat 4 menyebut "Ketua pengadilan negeri wajib meneliti secara cermat permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak permohonan izin diajukan."
Ayat 5 menyebut "Ketua pengadilan negeri dapat meminta informasi tambahan dari Penyidik mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)."
Ayat 6 menyebut "Pemblokiran hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali untuk jangka waktu 6 (enam) Bulan."
Ayat 7 menyebut "Dalam keadaan mendesak, Pemblokiran dapat dilaksanakan tanpa izin ketua pengadilan negeri."
Ayat 8 menyebut "Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
meliputi: a. potensi dialihkannya harta kekayaan; b. adanya tindak pidana terkait informasi dan transaksi elektronik; c. telah terjadi permufakatan dalam tindak pidana
terorganisasi; dan/atau d. situasi berdasarkan penilaian Penyidik."
Ayat 9 menyebut "Dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Penyidik dalam jangka waktu paling lama 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam meminta persetujuan kepada ketua pengadilan negeri setelah dilakukan Pemblokiran."
Ayat 10 menyebut "Ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama
2x24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah Penyidik meminta persetujuan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) mengeluarkan penetapan."
Ayat 11 menyebut "Dalam hal ketua pengadilan negeri menolak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), penolakan harus disertai dengan alasan".
Ayat 12 menyebut " Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (11)
mengakibatkan Pemblokiran wajib dibuka dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja oleh pejabat yang memerintahkan Pemblokiran dengan mengeluarkan surat perintah pencabutan Pemblokiran."
Ayat 13 menyebut "Dalam hal perkara dihentikan pada tahap Penyidikan, Penuntutan, atau berdasarkan putusan Praperadilan mengenai tidak sahnya penetapan Tersangka, Pemblokiran harus dibuka dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja oleh pejabat yang memerintahkan Pemblokiran dengan mengeluarkan surat perintah pencabutan Pemblokiran."
Dari isi pasal soal pemblokiran tersebut disebut dalam ayat 2 jika pemblokiran dari tabungan dan jejak online harus mendapat harus mendapat izin ketua pengadilan negeri atau hakim.
Sementara dalam keadaan mendesak penyidik memang bisa melakukan pemblokiran sebagaimana diatur dalam pasal 7. Namun dalam pasal 8 disebut hal hal yang termasuk keadaan mendesak misalnya potensi dialihkannya harta kekayaan; adanya tindak pidana terkait informasi dan transaksi elektronik; hingga dugaan pemufakatan jahat.
Lalu soal penyitaaan. Hal itu diatur dalam Pasal 44 dalam KUHAP baru.
Pasal itu berbunyi "Dalam hal Penyidik melakukan Penyitaan, Penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya dan surat izin Penyitaan dari ketua pengadilan negeri kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda tersebut."
Soal penyitaan dalam aturan itu harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri.
Kemudian soal penangkapan, penggeledahan, hingga penahanan. Pertama hal itu diatur dalam Pasal 94 KUHAP yang baru.
Pasal itu berbunyi "Penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti."
Aturan ini kurang lebih hampir sama dengan KUHAP lama dimana minimal ada sua alat bukti baru aparat bisa lakuan penangkapan.
Pasal 99 soal Penahanan. Hal ini jadi sorotan juga pasalnya Polisi dianggap bisa melakukan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana. Namun sebenarnya bagiamana isi pasalnya?
Dalam pasal itu, Ayat 1 menyebut "Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik berwenang melakukan Penahanan."
Ayat 2 menyebut "Penyidik Pembantu berwenang melakukan Penahanan atas perintah Penyidik."
Ayat 3 menyebut "PPNS dan Penyidik Tertentu tidak dapat melakukan Penahanan kecuali atas perintah Penyidik Polri."
Ayat 4 menyebut "Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi Penyidik di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang."
Ayat 5 menyebut "Untuk kepentingan Penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan Penahanan atau Penahanan lanjutan."
Ayat 6 menyebut "Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dengan penetapannya berwenang melakukan Penahanan."
Dari penjelasan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyampaikan kalau dalam aturan ini, penahanan baru bisa dilakukan apabila terdakwa mengabaikan panggilan dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, memberikan informasi tidak sesuai fakta, menghambat proses pemeriksaan, berupaya melarikan diri, melakukan ulang pidana, terancam keselamatannya, mempengaruhi saksi untuk berbohong.
Terakhir soal penggeledahan. Hal itu diatur dalam pasal 112 KUHAP baru.
Pasal itu berbunyi "Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik dapat melakukan Penggeledahan terhadap:
- rumah atau bangunan;
- pakaian;
- badan;
- alat transportasi;
- Informasi Elektronik;
- Dokumen Elektronik; dan/atau
- benda lainnya."
Dalam pasal 113 dijelaskan soal mekanisme penggeledahan.
Ayat 1 menyebut "Sebelum melakukan Penggeledahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 112, Penyidik mengajukan permohonan izin kepada ketua pengadilan negeri."
Ayat 2 menyebut "Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai uraian mengenai:
a. lokasi yang akan digeledah; dan
b. dasar atau fakta yang dipercaya bahwa dalam lokasi tersebut terdapat barang bukti yang terkait dengan tindak
pidana."
Ayat 3 menyebut "Dalam melakukan Penggeledahan, Penyidik hanya dapat
melakukan pemeriksaan dan/atau Penyitaan barang bukti yang terkait dengan tindak pidana.
Ayat 4 menyebut "Dalam keadaan mendesak, Penyidik dapat melakukan Penggeledahan tanpa izin dari ketua pengadilan negeri."
Ayat 5 menyebut "Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
meliputi:
- letak geografis yang susah dijangkau;
- Tertangkap Tangan;
- berpotensi berupaya merusak dan menghilangkan barang bukti; dan/atau
- situasi berdasarkan penilaian Penyidik.
Ayat 6 menyebut "Dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik paling lama 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam meminta persetujuan kepada ketua pengadilan negeri setelah dilakukan Penggeledahan.
Ayat 7 menyebut "Ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah Penyidik meminta persetujuan Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengeluarkan penetapan."
Ayat 8 menyebut "Dalam hal ketua pengadilan negeri menolak untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penolakan harus disertai dengan alasan.
Ayat 9 menyebut "Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) mengakibatkan hasil Penggeledahan tidak dapat dijadikan alat bukti."
DPR sendiri melakui Ketua Komisi III Habiburokhman membantah narasi yang beredar jika KUHAP baru berbahaya. Tak tanggung-tanggung bahkan dia menyebut narasi yang beredar tidak benar atau sebagai hoaks.
"Beredar inforsi bahwa dalam KUHAP baru diatur bah Polisi bisa menyadap secara sewenang-wenang tanpa izin pengadilan ,membekukan sepihak tabungan dan semua jejak online, mengambil hp, laptop, data. Juga beredar hoax bahwa polisi bisa sewenang-wenang menangkap, menggeledah, melakukan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana. Informasi tersebut di atas adalah hoaks alias tidak benar sama sekali," kata Habiburokhman dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).