- Rob semakin parah akibat perubahan iklim, membuat lingkungan anak di pesisir Semarang kian tidak layak.
- Tumbuh kembang anak usia dini terancam karena kesehatan dan aktivitas terganggu.
- Stimulasi dini memegang peranan penting untuk menyelamatkan masa depan anak.
Suara.com - Banjir rob yang semakin ekstrem mengancam masa depan anak pesisir Semarang. Tumbuh kembang anak usia dini terganggu. Stimulasi jadi kunci, tapi bagaimana melakukannya di tengah krisis iklim yang tak kunjung usai?
Masih membekas jelas dalam ingatan Siti Minar Halimah, bagaimana ia harus bertahan membawa janin di perut besarnya saat banjir rob menggenangi rumahnya di Kelurahan Bandarharjo, Semarang Utara, Kota Semarang. Matanya memerah, suaranya bergetar setiap kali mengenang hari-hari itu. Dua kali banjir besar datang selama ia mengandung, dua kali pula ia harus mempertaruhkan keselamatan dirinya dan calon buah hatinya di tengah air asin yang merangsek masuk ke dalam rumahnya.
Sejak kecil, Siti sudah bersahabat dengan rob. Tapi dulu air laut itu hanya sampai jalanan depan rumah. Kini, tiap kali pasang datang, air langsung menerobos masuk ke ruang tamu, dapur hingga kamar tidurnya.
Saat usia kehamilannya baru empat bulan, air laut kembali naik. Ia dan suaminya tergopoh-gopoh memindahkan barang ke lantai dua, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Ia, suaminya, ibunya, serta keluarga kakaknya berdesakan di lantai dua rumah. Ruang sempit itu mereka jadikan tempat makan, tidur dan berdoa agar air segera surut.
"Kalau ingat itu sampai sekarang saya masih nangis. Saya selalu berdoa, ya Allah lancarkan rezeki saya supaya bisa meninggikan rumah, jadi nggak kebanjiran lagi," kata Siti sambil menyeka air matanya saat berbincang dengan Suara.com, Sabtu (25/10/2025).
Selama beberapa hari mereka hidup di tengah genangan air asin. Dapur digenangi air setinggi lutut orang dewasa, namun Siti tetap memasak sambil menahan nyeri di perut. Naik turun tangga berkali-kali membuat tubuhnya cepat lelah, kontraksi datang lebih sering. Ia tahu itu berbahaya, tapi tak ada pilihan lain.
Setelah melahirkan, kehidupan tak banyak berubah. Anaknya baru berusia beberapa bulan ketika rob kembali menggenang. Udara dingin dan lingkungan yang lembap membuat sang anak demam hingga mogok makan. Ujungnya berat badan menurun dan aktivitas stimulasi tak bisa dilakukan.
"Masih ada fotonya kening Afshina (anak Siti) pakai plester penurun panas. Waktu itu masuk angin karena kedinginan," kata Siti.
Kini Afshina telah berusia dua tahun. Di masa emas pertumbuhan Afshina, Siti masih dibayang-bayangi ancaman banjir rob ekstrem yang bisa datang sewaktu-waktu. Beruntung Siti bisa merenovasi rumahnya menjadi lebih tinggi sehingga air laut tak langsung masuk ke dalam rumah.
Namun, tetap saja aktivitasnya terhambat kala rob datang karena akses jalan yang tergenang, stimulasi dan proses belajar Afshina pun ikut terganggu. Padahal menurut penelitian, 80 persen perkembangan otak anak terjadi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Air laut bukan hanya menggenangi daratan, tapi juga perlahan merampas hak anak-anak untuk tumbuh di lingkungan yang sehat dan belajar tanpa hambatan. Perubahan iklim dan penurunan muka tanah yang tak terkendali menyebabkan banjir rob yang datang semakin tinggi. Beberapa titik di pesisir Semarang kini berada di bawah permukaan laut. Rumah-rumah ditinggikan, jalanan diuruk, tapi air laut terus naik mengancam masa depan anak-anak pesisir.

Perubahan Iklim yang Merenggut Hak Anak
Kota Semarang menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak perubahan iklim. Kombinasi kenaikan permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah membuat Kota Semarang terancam tenggelam. Dalam riset berjudul 'Subsidence in Coastal Cities Throughout the World Observed by InSAR' (Penurunan Tanah di Kota-kota Pesisir di Dunia yang Diamati inSAR) yang menyoroti 99 kota pesisir di dunia tahun 2022, Semarang menduduki posisi kedua sebagai kota dengan laju penurunan tanah tertinggi setelah Tianjin di China, kemudian disusul Jakarta.
Penurunan tanah yang terjadi di Semarang melampaui peningkatan permukaan laut dengan 20-30 mm/per tahun line-of-sight (LOS). Artinya, setiap tahun sebagian wilayah kota ini semakin tenggelam dan masyarakat pesisir semakin kehilangan ruang hidup yang aman bagi anak-anak mereka.
Kondisi ini juga berdampak langsung terhadap status gizi anak-anak. Riset UNICEF dan Bappenas dalam buku 'Perubahan Iklim dan Gizi di Indonesia' mengungkap perubahan iklim semakin memperburuk malnutrisi pada anak. Selain itu, perubahan iklim memberikan dampak tidak langsung lainnya, mulai dari gangguan praktik pemberian makan, perawatan anak, peningkatan risiko penyakit dan berkurangnya akses ke layanan penting.

Kondisi tersebut tercermin dalam data Dinas Kesehatan Kota Semarang, tercatat angka kasus stunting mengalami kenaikan dari 845 kasus pada Desember 2024 meningkat menjadi 2.250 kasus pada Oktober 2025. Wilayah dengan temuan kasus stunting terbanyak adalah wilayah pesisir, yakni Kecamatan Semarang Utara dari 229 kasus pada Desember 2024, naik menjadi 334 kasus pada Oktober 2025.
Lebih spesifik lagi, kasus stunting tertinggi di Kecamatan Semarang Utara tersebut berada di Kelurahan Tanjungmas sebanyak 99 kasus dan Bandarharjo sebanyak 73 kasus stunting pada Oktober 2025. Kedua wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang bersinggungan langsung dengan laut sehingga paling terdampak perubahan iklim.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Mochammad Abdul Hakam mengatakan perubahan iklim yang terjadi memberikan dampak secara langsung terhadap Kota Semarang dalam dua hal, yakni kesehatan ibu dan anak serta peningkatan kasus demam berdarah.
Merujuk pada data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang menduduki posisi pertama sebagai wilayah dengan kasus demam berdarah tertinggi di Jawa Tengah, tercatat ada sebanyak 3.981 kasus per Januari hingga Juni 2025.

Pihaknya telah melakukan pemetaan risiko wilayah sampai di tingkat RW untuk mendeteksi potensi risiko sejak dini dan menggerakkan lintas sektoral untuk mengintervensi secara cepat dan tepat. Program ini dinamakan LINCAH (Kolaborasi Lintas Sektoral Berbasis Peta Risiko Wilayah untuk Ketahanan Kesehatan Kota Semarang).
Melalui program tersebut, semua pihak, termasuk masyarakat, ikut dilibatkan untuk meminimalisir risiko masalah kesehatan yang terjadi. Monitoring dan evaluasi di tingkat wilayah dilakukan setiap bulan untuk memastikan intervensi yang dilakukan sudah tepat sasaran.
"Kita menyisir kelompok rentan terutama ibu hamil dan balita. Intervensinya bareng-bareng dengan seluruh komponen yang ada di wilayah tersebut termasuk masyarakat ikut serta," kata Hakam saat dihubungi Suara.com, Jumat (31/10/2025).
Sebagai salah satu contoh saat banjir rob datang, program LINCAH dijalankan dengan memetakan wilayah mana saja yang terdampak rob. Kemudian aparat tingkat desa/kelurahan dan kecamatan akan menyisir wilayah yang aman untuk dijadikan tempat evakuasi dan kegiatan-kegiatan rutin seperti penimbangan balita atau Posyandu agar tidak terganggu.
Kesadaran Orang Tua untuk Stimulasi Dini Menjadi Kunci
Selain menjalankan program berbasis peta risiko wilayah, pemerintah juga fokus membangun kesadaran orang tua terkait pola asuh keluarga. Pemerintah Kota Semarang menjalin kemitraan dengan filantropi Tanoto Foundation membangun Rumah Anak SIGAP atau Siapkan Generasi Anak Berprestasi, yakni pusat pelayanan pengasuhan dan pembelajaran untuk anak usia dini 0-3 tahun.
Rumah Anak SIGAP memiliki program kelas orang tua, yakni kelas sosialisasi dan pelatihan untuk para orang tua dari anak usia dini 0-3 tahun. Melalui kelas ini, Pemerintah Kota Semarang dan Tanoto Foundation membangun kesadaran orang tua untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak mereka sehingga mampu meminimalisir dampak dari perubahan iklim yang terjadi.
“Dari 3 tahun yang sudah kita lakukan, hasilnya benar-benar signifikan. Nah ini bisa jadi contoh baik untuk daerah lain,” kata Hakam.
Head of Early Childhood Education and Development Tanoto Foundation, Michael Santoso mengatakan, kelas orang tua membantu para orang tua menyadari kebutuhan dasar setiap anak, yakni mendapatkan nutrisi yang baik, hidup sehat, bermain, belajar, dan berkembang. Semua hal tersebut sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak anak usia dini sehingga mereka lebih siap di masa depan.
"Harapannya anak dapat berkembang secara penuh pada saat awal kehidupan, saat belajar ke depannya dia akan lebih maksimal, saat diajari hal kompleks seperti perubahan iklim akan lebih siap," ujar Michael dalam wawancara daring.

Saat ini, sebanyak 29 Rumah Anak SIGAP yang telah beroperasi, menjangkau 134.388 orang tua dan 75.238 anak usia dini di seluruh Indonesia. Sementara, di Rumah Anak SIGAP Bandarharjo tercatat ada 48 anak yang bergabung dalam Rumah Anak SIGAP. Mereka terbagi dalam empat kelompok umur, yakni kelompok 0–6 bulan, 6–12 bulan, 12–24 bulan, dan 24–36 bulan.
Setiap kelompok mendapatkan sesi stimulasi yang dilakukan setiap hari Senin sampai Jumat. Para fasilitator akan mengamati dengan teliti terkait respons anak, tinggi dan berat badan, kemampuan sensorik dan motoriknya. Jika setelah tiga kali intervensi tidak terlihat perubahan, maka anak akan dirujuk ke Puskesmas untuk pemeriksaan lebih lanjut.
"Di sini pencegahan, semua anak disaring. Nanti Puskesmas akan merujuk ke Rumah Pelita (Penanganan Stunting Lintas Sektor bagi Baduta)" kata Koordinator Rumah Anak SIGAP, Itis Arliani.
Anak-anak yang tinggal di wilayahnya sangat rentan mengalami keterlambatan tumbuh kembang. Penyebabnya karena perubahan iklim dan banjir rob yang rutin menggenangi lingkungan, sehingga kesehatan anak-anak terganggu. Ujungnya tinggi dan berat badan anak stagnan, stimulasi sulit dilakukan, perkembangan otak anak terhambat.
Tidak sedikit anak usia dini yang masuk Rumah Anak SIGAP harus dirujuk ke Rumah Pelita karena perkembangannya tidak sesuai umur.
"Perubahan cuaca ekstrem bikin anak batuk, pilek, meriang. Kalau anak-anak sakit apa mau makan? Kalau tidak makan, gimana mau berkembang?" ujar Itis.
Itis mengakui, mendampingi anak usia dini di wilayah rentan bencana menjadi tantangan tersendiri. Ia menemui banyak kasus anak terhambat tumbuh kembangnya karena orang tua fokus pada penanganan rob, sehingga makanan dan stimulasi anak tidak terpantau.
Untuk memastikan tidak ada perkembangan anak yang tertinggal, fasilitator akan mendatangi rumah anak-anak yang tidak hadir di kelas. Para fasilitator akan memantau perkembangannya dan memberikan materi kepada orang tua sehingga si anak tidak mengalami keterlambatan.
"Meskipun banjir rob, kegiatan tetap tidak diliburkan. Anak yang tidak datang akan kita kunjungi rumahnya satu-satu," ujar Itis.
Tak hanya Rumah Anak SIGAP, Pemerintah Kota Semarang juga menguatkan peran guru Pendidikan Anak Usai Dini (PAUD) untuk menekan kasus stunting melalui program PAUD Holistik Integratif (PAUD-HI). Program ini digalakkan di semua sekolah PAUD yang ada di Kota Semarang.
Dalam program ini, guru PAUD memiliki peran penting membantu pencegahan stunting melalui pengukuran tumbuh dan kembang anak secara rutin dan melaporkan hasilnya ke tenaga kesehatan serta merujuk anak yang mengalami masalah, memberikan pendidikan makan dengan gizi seimbang yang tinggi protein.
Selain itu, para guru juga berperan dalam memberikan pembelajaran yang menyenangkan dan stimulasi psikososial sesuai usia anak serta mengembangkan kelas orang tua untuk meningkatkan kesadaran orang tua berkaitan dengan stunting.

Belajar dan Stimulasi di Mana Saja
Banjir rob dapat melumpuhkan aktivitas dan mobilitas, namun stimulasi anak tetap harus dilakukan. Dosen Pendidikan Islam Anak Usia Dini Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Kulsum Nur Hayati, M.Pd mengatakan, orang tua harus memastikan pembelajaran dan pemberian stimulasi anak tidak terganggu. Di sini orang tua memegang peran sangat penting memastikan tumbuh kembang anak tetap optimal di tengah situasi lingkungan yang terus tergerus perubahan iklim.
Kulsum menjelaskan, orang tua harus ikut berperan sebagai guru dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai media belajar. Untuk memenuhi kebutuhan motorik di rumah, orang tua bisa memberikan stimulasi dengan mengajak anak untuk bergerak. Aktivitas yang dapat dilakukan pun sederhana, orang tua dapat memanfaatkan media digital sebagai sarana stimulasi anak.
"Bisa melakukan gerakan-gerakan ringan, misalnya 'kalau katak gerakannya seperti apa'. Jadi ada stimulasi geraknya supaya anak tidak malas gerak," ujar Kulsum.
Untuk stimulasi emosional, orang tua bisa memberikan perhatian dan pujian untuk anak, seperti memberikan pelukan hangat kepada anak. Sementara dari sisi stimulasi bahasa, orang tua bisa membangun komunikasi yang lebih erat dengan membacakan dongeng untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Aktivitas ini juga dapat melatih perkembangan otak anak dengan meminta anak memberikan umpan balik dari dongeng tersebut.
"Orang tua harus tahu tahapan perkembangan anak usia tersebut apa. Sehingga tidak ada stimulasi yang tertinggal," kata Kulsum.
Setali tiga uang, Ketua Departemen PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Dr. Nur Cholimah, M.Pd juga menilai, perubahan iklim memberikan dampak negatif tidak langsung terhadap tumbuh kembang anak. Meski demikian, orang tua dan tenaga pengajar bisa memanfaatkan situasi ini sebagai media pembelajaran untuk anak-anak supaya lebih mengenal alam dan lebih peka terhadap lingkungan.
"Orang tua dan guru bisa memulai pendekatan, kenapa bisa terjadi banjir rob, bagaimana cara menjaga lingkungan, upaya pencegahan. Itu penting untuk membangun karakter anak," ujar Nur.
Saat banjir rob datang dan aktivitas belajar di sekolah tidak bisa dilakukan, Nur berpesan agar orang tua memastikan terlebih dahulu kebutuhan dasar anak, yakni merasa aman dan nyaman terpenuhi. Setelah itu, orang tua bisa memulai stimulasi dini melalui cerita interaktif.
"Stimulasi itu seperti nafas, anytime and anywhere. Ketika dia bermain atau saat kita ajak pergi, kita bisa bercerita. Itu juga bagian dari stimulasi," ujar Nur.
Nur menyadari, diperlukan kesadaran dari orang tua agar proses stimulasi dini terutama di wilayah rentan bencana seperti Semarang dapat dilakukan secara maksimal. Dalam hal ini pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat atau lembaga swadaya maupun filantropi untuk memberikan materi-materi edukasi kepada orang tua.
"Ini PR besar buat kita, bagaimana orang tua itu sadar bahwa mereka adalah pendidik utama dan pertama," ujar Nur.
Perubahan besar usai mengikuti kelas orang tua di Rumah Anak SIGAP dirasakan oleh Siti. Ia tak pernah absen mengikuti kelas tersebut. Banyak pengetahuan baru terkait pola asuh anak yang bisa ia terapkan di rumah, terlebih dalam situasi gawat bencana saat rob datang.
Sejak anaknya, Afshina, berusia dua bulan mengikuti berbagai kegiatan di Rumah Anak SIGAP, ada banyak sekali perkembangan pesat yang didapatkan anaknya. Meskipun rumahnya digenangi banjir rob berkali-kali dalam setahun, tumbuh kembang Afshina tetap optimal karena stimulasi dini yang rutin dilakukan.
“Banyak manfaatnya nggak cuma didapatkan oleh anak, tapi orang tuanya juga dapat ilmu berharga. Saya jadi mulai melek pola asuh yang benar itu gimana,” kata Siti.