- Taman Nasional Tesso Nilo hancur akibat alih fungsi menjadi kebun sawit ilegal.
- Warga lokal dan negara berkonflik sengit dalam memperebutkan hak atas tanah.
- Solusi adil menuntut pengakuan hak masyarakat, bukan sekadar penegakan hukum kaku.
Suara.com - Di jantung Kabupaten Pelalawan, Riau, terhampar sebuah janji: ribuan hektar hutan dataran rendah bernama Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi ekosistem terkaya di Sumatra. Namun, janji itu kini terkoyak. Kenyataannya, kawasan ini telah berubah menjadi arena pertarungan sengit antara negara, masyarakat, dan korporasi.
LAPORAN Kejaksaan Agung mengungkap potret buram alih fungsi kawasan konservasi menjadi lautan perkebunan sawit ilegal. Dari luas awal 81.793 hektare, hutan alami di TNTN kini tersisa hanya sekitar 12.561 hektare. Sebuah kehilangan yang menusuk jantung ekologi.
Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Donny Gunaryadi, menegaskan betapa krusialnya satwa ikonik ini bagi Tesso Nilo.
"Jika kehilangan mereka di Tesso Nilo, kita kehilangan lebih dari sekadar satu spesies, tapi kehilangan keseimbangan alam,” ujar Donny, Rabu (3/12/2025).
Namun, setiap jengkal hutan yang hilang tidak hanya mengancam gajah dan harimau. Tanah yang seharusnya menyimpan air kini rusak, memicu bencana ekologis, dan mempertajam konflik antara manusia dengan satwa liar yang kehilangan rumahnya.
![Infografis krisis taman nasional tesso nilo di Riau. [Suara.com/Rochmat]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/12/03/56402-infografis-krisis-taman-nasional-tesso-nilo-di-riau.jpg)
Warga vs Negara: Siapa Perambah Sebenarnya?
Masyarakat lokal, yang telah puluhan tahun menghuni dan mengelola lahan di kawasan itu, kini merasakan langsung getirnya rencana relokasi. Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan (AMMP) bahkan sempat menggeruduk Kantor Gubernur Riau pada 18 Juni 2025 lalu, menyuarakan protes mereka.
"Kami bukan perambah, kami rakyat kecil yang mencari nafkah. Jangan tiba-tiba kami dipaksa pergi tanpa solusi," seru seorang orator kala itu, mewakili suara ribuan warga yang terancam.
Mereka bersikukuh memiliki hak, dibuktikan dengan sertifikat hak milik (SHM) yang telah mereka kantongi sejak tahun 1998, jauh sebelum hiruk pikuk konservasi modern.
Baca Juga: Ketika Niat Baik Merusak Alam: Kisah di Balik Proyek Restorasi Mangrove yang Gagal
Di seberang barikade, negara berdiri tegak dengan payung hukumnya. Melalui SK Menteri Kehutanan No. 255/2004, kawasan TNTN telah ditetapkan sebagai taman nasional. Artinya, segala aktivitas manusia tanpa izin resmi dianggap ilegal. Dalam sebuah audiensi, Kapolda Riau Herry Heryawan menolak tuntutan warga, menegaskan bahwa lahan TNTN secara ideal harus dikembalikan sebagai habitat gajah Sumatra.
Cermin Kegagalan Tata Ruang
Masalah di Tesso Nilo adalah cerminan dari fenomena yang lebih besar: tumpang-tindih brutal antara agenda konservasi, hak masyarakat, dan kepentingan industri di Indonesia.

Secara hukum, aturannya tegas. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, hutan konservasi seperti TNTN adalah zona terlarang untuk kebun, permukiman, maupun aktivitas produktif lainnya. Aktivitas yang diizinkan sangat terbatas, hanya untuk penelitian atau ekowisata.
Di sisi lain, ada kategori hutan produksi yang masih bisa dimanfaatkan melalui skema resmi seperti Perhutanan Sosial (PS), di mana masyarakat diberi akses legal untuk mengelola hutan.
Namun, dalam praktiknya, garis batas antara aturan dan realitas kerap kabur. Warga merasa telah hadir dan bercocok tanam jauh sebelum regulasi datang. Sementara negara, dengan payung hukumnya yang kaku, seolah datang belakangan untuk menata ulang kehidupan yang sudah ada.