Jakarta di Bawah Tekanan Cuaca Ekstrem: Seberapa Siap Kita?

Kamis, 04 Desember 2025 | 18:15 WIB
Jakarta di Bawah Tekanan Cuaca Ekstrem: Seberapa Siap Kita?
Ilustrasi cuaca ekstrem melanda Jakarta. (Suara.com/Aldie)
Baca 10 detik
  • BMKG memprediksi Jakarta akan menghadapi puncak cuaca ekstrem dengan curah hujan mendekati 300 mm per hari pada Desember 2025 hingga awal Januari 2026.
  • Pemprov DKI Jakarta menyiagakan pompa air, melakukan modifikasi cuaca, serta mengebut normalisasi sungai sebagai mitigasi dampak banjir.
  • Banjir Jakarta merupakan masalah berulang yang diperparah oleh penurunan tanah dan drainase yang tidak memadai; partisipasi warga penting untuk solusi realistis.

Suara.com - Hujan deras sore itu membuat jalan-jalan Jakarta berubah jadi sungai mini. Fauzi, seorang driver ojek online, terhenti di pinggir jalan sambil menatap genangan yang mulai menutupi ban motor.

“Kalau tetap nge-bid, motor bisa rusak… tapi kalau berhenti, pendapatan habis,” gumamnya.

Di setiap sudut kota, cerita serupa terjadi: air naik, aktivitas terganggu, dan kecemasan warga pun ikut meluap. Banjir Jakarta bukan cuma soal air, tapi soal kehidupan yang setiap musim hujan selalu diuji.

Jakarta Dihantui Cuaca Ekstrem Hingga Awal 2026

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kembali membawa kabar kurang menyenangkan bagi warga Jakarta lewat peringatan cuaca ekstrem.

Hal ini disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Ia memberi peringatan serius terkait potensi cuaca ekstrem yang mengintai Ibu Kota pada penghujung tahun 2025.

Menurut sang gubernur, berdasarkan data BMKG, ancaman hidrometeorologi ini diprediksi akan mencapai puncaknya dalam waktu dekat.

"Diprediksi minggu kedua (Desember) sampai dengan awal Januari," ujar Pramono di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Selama rentang waktu tersebut, Jakarta dihadapkan pada kemungkinan peningkatan intensitas curah hujan yang bisa mendekati 300 mm dalam satu hari..

Baca Juga: PSIM Yogyakarta Kena Denda Komdis PSSI Gara-gara Suporter Tandang di SUGBK

Sajian data ini tentu bukan pertanda baik, mengingat sistem drainase Jakarta dirancang untuk menampung curah hujan sekitar 120 mm per hari.

"Curah hujan 200 (mm) saja, Jakarta itu pasti sudah banjir," tutur Pramono.

Masalah lebih parah bahkan bisa timbul ketika curah hujan tinggi datang berbarengan dengan kenaikan air laut, yang sudah sejak lama menghantui kawasan pesisir Jakarta.

Siapkah Pemprov Hadapi Ancaman Cuaca Ekstrem?

Ancaman cuaca ekstrem memang di luar kendali manusia untuk mencegahnya datang. Namun, langkah mitigasi untuk meminimalisir dampaknya tetap bisa dilakukan.

Pemprov DKI Jakarta pun sudah bergerak cepat dengan menyiapkan berbagai langkah pengendalian banjir yang biasa dilakukan, seperti menyiagakan ratusan pompa air serta upaya modifikasi cuaca.

"Terutama ketika curah hujan di atas 200 (mm)," tegas Pramono Anung di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Program normalisasi Kali Ciliwung dan Kali Krukut pun juga sedang dikebut Pemprov DKI Jakarta, karena dianggap punya peranan penting dalam meminimalisir dampak banjir. 

"Kalau tidak, maka dampaknya untuk Jakarta juga makin panjang," kata Pramono lagi.

Instruksi ke setiap kecamatan dan kelurahan untuk sosialisasi ke warga mengenai peringatan dini atas potensi datangnya banjir juga sudah diserukan.

"Kalau perlu, rumah-rumah ibadah harus digunakan untuk peringatan dini, karena mereka punya speaker," tegas Pramono.

Banjir Jadi Masalah Mengakar di Jakarta

Jakarta memang seperti sudah terlalu lekat dengan ancaman banjir setiap musim penghujan datang. Sejak 5 tahun terakhir saja, tren banjir belum menunjukkan tanda-tanda bakal mereda.

Dimulai dari 2020, BPBD DKI Jakarta mencatat 101 kejadian banjir. Sempat menurun jadi 72 kejadian di 2021, data kembali menunjukkan kenaikan di 2022 menjadi 129.

Di 2023, angka banjir di Jakarta sempat turun ke 65 kejadian. Namun di 2024, data kembali naik ke 131.

Sampai di 2025, banjir sudah merendam wilayah Jakarta sebanyak 115 kali hingga November kemarin.

Namun, kendala mengatasi banjir Jakarta memang bukan sepenuhnya datang dari pemerintah daerah.

Mereka yang mendapat amanah memimpin Jakarta memang sudah diwarisi masalah geografis berupa penurunan permukaan tanah dan naiknya permukaan laut.

Belum lagi masalah infrastruktur yang kurang memadai akibat keterbatasan sistem drainase, yang kapasitasnya yang tidak sebanding dengan curah hujan.

"Tentu hal ini harus mendapat perhatian khusus," kata pengamat tata kota, M. Azis Muslim kepada Suara.com, Kamis (4/12/2025).

Status Jakarta sebagai kota megapolitan juga berbanding lurus dengan tingginya angka pembangunan, yang pada akhirnya menggerus keberadaan lahan-lahan hijau penangkal banjir.

"Di situ kan ada tuntutan-tuntutan yang menyertai dengan eksistensi Jakarta, dan proyeksi Jakarta menjadi kota global," tutur Azis lagi.

Banjir Berulang yang Merugikan Masyarakat

Isu banjir di wilayah Jakarta tentu menimbulkan kerugian ekonomi, baik dari sisi industri maupun perorangan.

Contohnya seperti Fauzi, seorang driver ojek online yang pemasukannya sangat terdampak setiap kali banjir datang menggenangi wilayah Jakarta.

Bagai buah simalakama, ia bimbang apakah akan tetap nge-bid di tengah banjir, atau mematikan aplikasi dan pulang ke rumah.

"Pilihannya, motor saya rusak nerobos banjir, atau nggak ada pemasukan," katanya saat berbincang dengan Suara.com di sebuah minimarket di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2025).

Data Kejadian Bencana di Jakarta Sepanjang 2025. (Suara.com/Aldie)
Data Kejadian Bencana di Jakarta Sepanjang 2025. (Suara.com/Aldie)

Jakarta Bisa 'Berguru' ke Rotterdam, Tapi Bukan Solusi Jangka Pendek

Jakarta memang bukan satu-satunya wilayah yang permukaan tanahnya lebih rendah dari air laut.

Di belahan bumi Eropa, tepatnya di kota Rotterdam, Belanda, mereka yang hidup di sana juga menghadapi masalah serupa.

Namun, pemerintah Rotterdam punya cara yang lebih efektif dalam menanggulangi ancaman banjir.

Mulai dari keberadaan Maeslantkering, pintu air raksasa yang secara otomatis menutup untuk menghalangi air laut saat permukaan naik dan melindungi wilayah di bawah permukaan laut, hingga sistem pompa yang terus-menerus beroperasi, untuk membuang air dari dataran rendah dan menjaga wilayah tetap kering.

Hanya saja, pemerintah Rotterdam juga butuh waktu yang tidak sebentar untuk benar-benar bisa melindungi kota dari ancamam banjir.

Pada 2013, Wali Kota Rotterdam saat itu, Ahmed Aboutaleb menyebutkan bahwa perlu lebih dari 200 tahun untuk mereka benar-benar menemukan strategi yang terbilang jitu guna 'melawan' kekuatan alam.

Partisipasi Warga Jakarta, Solusi Paling Realistis

Melihat panjangnya perjalanan pemerintah Rotterdam dalam proses pengendalian banjir, Jakarta tentu butuh solusi yang lebih realistis.

Kalau hanya terus-terusan menyalahkan kendala geografis hingga keterbatasan infrastruktur, isu banjir Jakarta bakal jadi masalah yang semakin besar dari tahun ke tahun.

Pengamat tata kota, M. Azis Muslim pun menyebut peran aktif warga sebagai salah satu jalan paling ideal dalam membantu pemerintah mengendalikan banjir.

"Tentu harus dibangun sebuah kesadaran masyarakat ya, sebuah perilaku hidup yang memang bertanggung jawab," ujarnya.

Edukasi bagi masyarakat untuk pengelolaan sampah rumah tangga maupun industri diharapkan dapat berdampak besar untuk menekan potensi banjir.

"Menjaga saluran drainase, meningkatkan kesadaran membuang sampah, merawat berbagai macam infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah. Ini kan juga masih miris ya," kata Azis.

Sementara pekerjaan rumah yang dianggap paling realistis untuk pemerintah adalah dengan memaksimalkan infrastruktur penangkal banjir yang sudah ada, seperti memperbesar kapasitas drainase hingga mengoptimalkan penggunaan pompa-pompa air.

"Tinggal sejauh mana pemerintah provinsi mempersiapkan itu semuanya," pungkas Azis. 

Di tengah derasnya hujan dan genangan yang tak kunjung surut, satu hal jadi jelas: banjir Jakarta bukan sekadar masalah infrastruktur, tapi cermin dari bagaimana kota dan warganya bersatu menghadapi alam.

Solusi jangka panjang butuh kolaborasi, kesadaran, dan aksi nyata—dari pemerintah hingga setiap warga. Karena pada akhirnya, mengatasi banjir bukan hanya soal menahan air, tapi menjaga ritme hidup Jakarta tetap berjalan, aman, dan manusiawi.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI