- Kekerasan di satuan pendidikan Indonesia sepanjang 2025 menunjukkan lonjakan signifikan, dengan bentuk beragam mulai dari kekerasan fisik, seksual, hingga bullying yang merenggut nyawa.
- Data FSGI menegaskan bahwa sekolah, dari PAUD hingga SMA/SMK, kian rentan dan belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi anak.
- Meski sejumlah inovasi dan regulasi tengah disiapkan, perlindungan nyata masih bergantung pada keseriusan sistem merespons laporan dan berpihak pada korban.
Suara.com - Bel sekolah berbunyi setiap pagi. Anak-anak datang membawa buku, seragam rapi, dan harapan sederhana: belajar dengan aman. Namun di balik rutinitas itu, ruang pendidikan di Indonesia menyimpan kenyataan yang semakin mengkhawatirkan. Sekolah yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan anak, kian sering menjadi lokasi kekerasan terjadi dan dibiarkan berulang.
Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sepanjang Januari hingga Desember 2025 mencatat 60 kasus kekerasan di satuan pendidikan. Angka ini melonjak signifikan dibanding 36 kasus pada 2024. Di balik angka tersebut, terdapat 358 korban dan 126 pelaku, mencerminkan persoalan yang bukan lagi insidental, melainkan sistemik.
Kekerasan Fisik yang Berujung Kematian
Kekerasan fisik menjadi bentuk yang paling dominan, dengan 27 kasus atau sekitar 45 persen dari total kejadian. Setidaknya 73 siswa menjadi korban, dan delapan di antaranya meninggal dunia. Rentang usia korban berkisar antara 8 hingga 17 tahun, lima masih duduk di bangku sekolah dasar, dua di SMP, dan satu siswa SMK berusia 17 tahun.
Angka kematian ini memperlihatkan bahwa kekerasan di sekolah tidak lagi sebatas pelanggaran disiplin atau konflik antar siswa. Ia telah menjelma menjadi ancaman nyata terhadap nyawa anak. Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, menegaskan bahwa dominasi kekerasan fisik mencerminkan kegagalan sekolah menjalankan fungsi dasarnya sebagai ruang aman.
“Sekolah belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman bagi anak,” ujar Retno. Pernyataan ini selaras dengan pola kasus yang terus berulang dari tahun ke tahun, tanpa pencegahan yang signifikan.
Kekerasan Seksual dan Relasi Kuasa
Di posisi kedua, kekerasan seksual tercatat sebanyak 17 kasus atau 28,33 persen, dengan 127 siswa menjadi korban. Jumlah pelaku mencapai 17 orang. Salah satu kasus yang paling mencolok melibatkan oknum guru perempuan yang melakukan kekerasan seksual terhadap siswanya yang berusia 16 tahun.
Kasus ini mengungkap persoalan relasi kuasa di lingkungan pendidikan. Pelaku tidak selalu berasal dari luar sekolah, melainkan justru dari figur yang seharusnya menjadi pelindung.
Baca Juga: Ironi Pahit: Rumah Sendiri Jadi Lokasi Paling Sering Terjadinya Kekerasan Seksual pada Perempuan
“Kekerasan seksual tidak hanya terjadi di sekolah berasrama, tetapi juga di sekolah umum,” kata Retno, Minggu (7/12/2025).
Fakta ini menantang asumsi lama bahwa kekerasan seksual lebih rentan terjadi di lingkungan tertutup. Realitas menunjukkan, lemahnya pengawasan dan budaya tutup mulut memberi ruang bagi pelaku di berbagai tipe sekolah.
Luka Psikis dan Perundungan yang Dibiarkan
Kekerasan psikis berada di peringkat ketiga dengan delapan kasus atau 13,33 persen. Namun dampaknya kerap paling mematikan. FSGI mencatat, 37,5 persen korban kekerasan psikis, atau tiga siswa, memilih mengakhiri hidupnya sendiri.
Menurut Retno, tekanan berulang yang tidak ditangani membuat korban terjebak dalam depresi. Dalam banyak kasus, tanda-tanda awal sudah muncul, tetapi diabaikan oleh lingkungan sekolah.
Perundungan tercatat empat kasus atau 6,67 persen. Dua di antaranya berujung pada balas dendam ekstrem. Di Aceh Besar, seorang korban bully membakar pondok pesantren. Di Jakarta Utara, ledakan bom di sebuah SMA yang melukai 96 orang diduga berkaitan dengan aksi balasan korban perundungan. Kekerasan yang tak ditangani di tahap awal berkembang menjadi ancaman sosial yang jauh lebih luas.