- Kekerasan di satuan pendidikan Indonesia sepanjang 2025 menunjukkan lonjakan signifikan, dengan bentuk beragam mulai dari kekerasan fisik, seksual, hingga bullying yang merenggut nyawa.
- Data FSGI menegaskan bahwa sekolah, dari PAUD hingga SMA/SMK, kian rentan dan belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi anak.
- Meski sejumlah inovasi dan regulasi tengah disiapkan, perlindungan nyata masih bergantung pada keseriusan sistem merespons laporan dan berpihak pada korban.
Ketika Kebijakan Ikut Menjadi Kekerasan
Bukan hanya individu, kebijakan institusi juga tercatat menjadi sumber kekerasan. FSGI memasukkan kategori “kebijakan yang mengandung kekerasan”, dengan tiga kasus dan total 55 korban sepanjang 2025.
Salah satu yang paling fatal terjadi di sebuah pondok pesantren di Sidoarjo. Musala yang masih dalam proses pembangunan tetap digunakan untuk ibadah hingga akhirnya ambruk dan menewaskan 53 santri.
“Kebijakan ponpes yang tetap mempergunakan musala saat bangunan belum layak sangat berisiko tinggi dan membahayakan,” tegas Retno.
Kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan tidak selalu dilakukan dengan tangan, tetapi juga melalui keputusan yang mengabaikan keselamatan.
Pola yang Berulang di Semua Jenjang
FSGI mencatat kekerasan terjadi di seluruh jenjang pendidikan. Sekolah dasar mencatat kasus terbanyak (18 kasus atau 30 persen), disusul SMP (17 kasus), pondok pesantren (8 kasus), SMA (6 kasus), SMK (5 kasus), serta PAUD dan MTs masing-masing tiga kasus.
Pelaku pun tidak tunggal. Peserta didik mendominasi dengan 25 kasus, disusul guru, kepala sekolah, pimpinan pesantren, tenaga kependidikan, orang tua siswa, alumni, hingga orang asing. Menurut Retno, tingginya pelaku dari kalangan siswa berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan secara berkelompok.
“Biasanya korban sudah lama dibully oleh satu pelaku. Karena diam dan tidak melawan, kekerasan kemudian diikuti oleh teman-temannya,” ujarnya.
Baca Juga: Ironi Pahit: Rumah Sendiri Jadi Lokasi Paling Sering Terjadinya Kekerasan Seksual pada Perempuan
Sistem Pengaduan yang Tak Berpihak
Di banyak kasus, korban sebenarnya telah memberi sinyal. Mengadu ke guru, ke orang tua, atau menunjukkan perubahan perilaku. Namun sistem pengaduan kerap lambat, tidak responsif, atau bahkan menyalahkan korban. Ketika respons datang terlambat, tragedi sudah terjadi.
Tapi, tentu saja kita tak boleh pesimis. Secercah harapan akan selalu ada. SMPN 43 Bandung, misalnya, sudah memulai dengan meluncurkan aplikasi BEJAKEUN, platform pelaporan anonim untuk perundungan. Aplikasi itu bahkan meraih penghargaan internasional, bukti bahwa sekolah bisa menjadi pelopor perubahan.
Dalam aturan Permendikbudristek 46/2023 mewajibkan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK/SPK) di sekolah. Jika implementasi optimal, TPPK dapat menjadi garda terdepan menghadapi kekerasan sebelum membesar.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, juga telah menyatakan bahwa Peraturan Menteri tentang penanganan bullying akan diterapkan mulai semester baru tahun 2026. Aturan ini sedang disusun dan digadang-gadang akan humanis, komprehensif, dan partisipatif.
Kemendikdasmen pun hingga kini masih menghimpun masukan dari berbagai pihak, terutama lembaga perlindungan anak. Jika regulasi ini berjalan efektif, Indonesia punya kesempatan untuk memperbaiki luka besar bernama kekerasan di sekolah.