Cukai Minuman Manis Ditunda, Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kesehatan Anak?

Senin, 15 Desember 2025 | 20:38 WIB
Cukai Minuman Manis Ditunda, Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kesehatan Anak?
Ilustrasi cukai minuman manis. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Pemerintah kembali menunda penerapan cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) meskipun konsumsi gula tinggi mengancam kesehatan.
  • Data menunjukkan mayoritas rumah tangga Indonesia mengonsumsi MBDK, mendorong peningkatan kasus diabetes dan obesitas dini.
  • Penundaan cukai dikritik karena berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi kesehatan hingga Rp 40,6 triliun di masa depan.

Suara.com - Di tengah terik matahari siang, seorang anak pulang sekolah menenteng tas ransel sambil membeli minuman botolan manis dan dingin di warung dekat rumah. Minuman manis itu terasa menyegarkan, tapi di balik kenikmatan sesaat, gula yang mengalir deras ke tubuhnya menambah risiko obesitas dan diabetes sejak usia dini.

Dan kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang telah lama jadi rencana, yang seharusnya menekan konsumsi gula tinggi, kembali ditunda oleh pemerintah, meninggalkan kebiasaan berisiko ini tanpa pembatasan yang efektif.

Kenapa Perlu Penerapan Cukai Minuman Berpemanis?

Desakan penerapan cukai kian mendesak jika melihat pola konsumsi di dalam negeri. Data Susenas 2024 mencatat 68,1 persen atau sekitar 93,5 juta rumah tangga di Indonesia mengonsumsi MBDK. 

Sementara Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan hampir setengah penduduk usia tiga tahun ke atas mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali sehari. 

Di sisi lain, International Diabetes Federation menempatkan Indonesia dalam lima besar negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia, sebuah sinyal keras bahwa intervensi pengendalian gula tak bisa lagi ditunda.

Kementerian Kesehatan juga mencatat tren peningkatan obesitas dan diabetes pada usia muda, seiring konsumsi gula yang kerap melampaui batas aman harian 50 gram per orang.

Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan dasar pengenaan cukai MBDK melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Kementerian Keuangan menilai cukai diperlukan untuk menekan konsumsi dan mencegah penyakit tidak menular dalam jangka panjang. 

Namun selama kebijakan itu tertunda, harga MBDK tetap rendah dan konsumsi tinggi—sebuah situasi yang, menurut peringatan otoritas kesehatan, berisiko membebani sistem kesehatan dan menurunkan produktivitas generasi usia kerja dalam 20 tahun ke depan.

Baca Juga: GoTo Bikin Terobosan: Driver Juara Gojek Kini Dapat BPJS Gratis

Infografis cukai minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)
Infografis cukai minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)

Cukai yang Ditunda, Risiko yang Menumpuk

Baru saja pekan lalu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengumumkan kalau ia menunda penerapan cukai MBDK, yang semula dijadwalkan berlaku mulai. Keputusan itu dinilai sebagai langkah mundur dari upaya perlindungan kesehatan publik. Purbaya juga memperpanjang catatan buruk Kemenkeu yang telah empat kali menunda cukai MBDK sejak rencana awal penerapan pada 2023.

Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi menyebut penundaan tersebut sebagai blunder, terutama karena menyasar produk dengan tingkat konsumsi tinggi di kalangan anak dan remaja. 

Data yang dikutip FKBI menunjukkan lebih dari 25 persen anak di Indonesia mengonsumsi MBDK setiap hari. Konsumsi tinggi ini dipicu oleh harga yang murah dan kemudahan pembelian.

Tulus mengingatkan, pola tersebut berkontribusi pada meningkatnya kegemukan dan obesitas anak, yang dalam jangka panjang berujung pada diabetes. 

Pada orang dewasa, tren serupa juga terlihat, dengan konsumsi MBDK meningkat hingga 14 kali lipat dalam satu dekade terakhir, seiring naiknya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, stroke, kanker, dan diabetes melitus.

"Menkeu Purbaya telah melakukan barter kesehatan anak-anak dan kesehatan publik secara umum, dengan kepentingan ekonomi kalangan industri MBDK. Padahal pengenaan cukai MBDK tidak akan meruntuhkan industri MBDK," kritiknya.

Ia menyebut keputusan ini sebagai ancaman serius terhadap upaya negara mewujudkan bonus demografi dan generasi emas.

Infografis cukai minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)
Infografis cukai minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)

Menunggu Ekonomi Tumbuh, Sementara Gula Terus Mengalir

Alasan pemerintah menunda cukai MBDK karena ekonomi dinilai belum cukup kuat menuai kritik juga dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Padahal, sejak 2016, usulan cukai MBDK sudah melalui kajian lintas kementerian dan lembaga, menandai komitmen panjang menuju kebijakan fiskal yang berpihak pada kesehatan publik.

Bagi CISDI, menunda cukai MBDK justru mengabaikan bukti ilmiah yang sudah mapan. Berbagai studi nasional dan internasional menunjukkan cukai minuman manis efektif menurunkan konsumsi gula, faktor risiko utama obesitas, diabetes tipe 2, dan penyakit tidak menular. Lebih dari 106 negara telah menerapkan kebijakan serupa dan berhasil mendorong perubahan perilaku konsumsi masyarakat. 

"Keputusan pemerintah untuk kembali menunda cukai MBDK dengan berpatokan pada target pertumbuhan ekonomi 6 persen sangat disayangkan. Minuman berpemanis bukan kebutuhan pokok dan justru menjadi faktor risiko meningkatnya beban kesehatan jangka panjang," ujar Project Lead for Food Policy CISDI, Nida Adzilah Auliani. 

CISDI menilai kekhawatiran pemerintah soal dampak ekonomi cukai MBDK tidak berdasar. Studi CISDI 2024 justru memperkirakan kenaikan harga minimal 20 persen berpotensi mencegah lebih dari 3,1 juta kasus diabetes. Dari sisi fiskal, negara diperkirakan bisa menghemat Rp 24,9 triliun biaya pengobatan diabetes tipe 2 dan Rp 15,7 triliun kerugian akibat hilangnya produktivitas. 

“Jika ditotal berdasarkan perhitungan Disability-Adjusted Life Years, penundaan cukai minuman manis berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga Rp 40,6 triliun,” kata Nida. 

Angka itu belum termasuk dampak ekonomi dari penyakit tidak menular lainnya yang terus mengintai.

Infografis dampak kesehatan minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)
Infografis dampak kesehatan minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)

Alternatif Melindungi Generasi Muda Saat Cukai Masih Ditunda

Di tengah penundaan cukai MBDK, ruang kebijakan untuk melindungi generasi muda sejatinya belum sepenuhnya tertutup.

CISDI menilai pemerintah tetap bisa mengambil langkah-langkah sementara guna menahan laju konsumsi gula, terutama di kalangan anak dan remaja. Opsi ini penting agar jeda kebijakan fiskal tidak berubah menjadi jeda perlindungan kesehatan publik.

Salah satu langkah yang dinilai paling mendesak adalah pelabelan kandungan gula yang lebih tegas dan mudah dipahami di bagian depan kemasan. 

"Menerapkan kebijakan pendukung seperti pelabelan gizi depan kemasan dan pelarangan iklan produk tinggi gula, garam, dan lemak," kata Nida.

Bagi CISDI, informasi gizi yang jelas dapat membantu konsumen, termasuk orang tua, membuat keputusan lebih sadar sebelum membeli.

Bersamaan dengan itu, pembatasan bahkan pelarangan iklan MBDK dan produk tinggi gula, garam, dan lemak yang menyasar anak-anak perlu diperketat, mengingat paparan iklan berperan besar membentuk kebiasaan konsumsi sejak dini.

Pembatasan juga bisa diterapkan di ruang-ruang yang dekat dengan anak. Larangan penjualan MBDK di lingkungan sekolah, kantin, dan fasilitas pendidikan dinilai sebagai kebijakan nonfiskal yang efektif menekan konsumsi harian.

Dengan akses yang dibatasi, anak-anak tidak lagi menjadikan minuman manis sebagai pilihan rutin, melainkan konsumsi sesekali yang lebih terkendali.

Di luar regulasi, edukasi publik menjadi benteng terakhir yang tak kalah penting. CISDI menekankan perlunya promosi kesehatan yang masif mengenai bahaya konsumsi gula berlebih, sekaligus memperkuat peran orang tua sebagai pengambil keputusan di rumah.

Selama cukai belum diterapkan, upaya-upaya ini diharapkan dapat menjadi penyangga sementara, agar generasi muda tidak terus membayar mahal dari kebijakan yang ditunda.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI