Peta Jalan 'Rupiah Hijau' Bioenergi: Dari Keadilan Daerah Hingga Siapnya Industri

Bangun Santoso Suara.Com
Kamis, 18 Desember 2025 | 13:20 WIB
Peta Jalan 'Rupiah Hijau' Bioenergi: Dari Keadilan Daerah Hingga Siapnya Industri
ASPEBINDO Rumuskan Peta Jalan Pembiayaan Bioenergi: Dari Green Democracy hingga Kesiapan Industri
Baca 10 detik
  • ASPEBINDO menggelar forum strategis di Jakarta pada 17 Desember 2025 untuk merumuskan peta jalan pembiayaan bioenergi.
  • DPD RI mengusulkan konsep Green Democracy dan Dana Investasi Bioenergi Nasional dengan skema *blended finance*.
  • Tantangan utama pembiayaan meliputi tingginya biaya modal serta kebutuhan kepastian regulasi dan dukungan rantai pasok.

Suara.com - Peta jalan pembiayaan untuk membuka potensi raksasa bioenergi Indonesia mulai dirumuskan secara konkret. Dalam forum strategis yang mempertemukan seluruh pemangku kepentingan, Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (ASPEBINDO) mengurai benang kusut pendanaan energi hijau yang selama ini menjadi hambatan utama.

Bertajuk Financing Bioenergy for Sustainable Growth, diskusi panel yang digelar di The Westin Jakarta, Rabu (17/12/2025), menjadi ajang adu gagasan antara pemerintah, BUMN energi, produsen, hingga lembaga keuangan untuk menciptakan skema pendanaan yang adil dan aplikatif.

Wakil Ketua Umum ASPEBINDO, Jay Aryaputra Singgih, membuka forum dengan memaparkan tantangan trilema energi yang dihadapi bangsa. Menurutnya, bioenergi adalah jawaban paling realistis, namun transisinya harus melibatkan semua pihak hingga ke level akar rumput.

"Hari ini kita berada di titik krusial di mana kita harus menyeimbangkan tiga hal sekaligus: keamanan pasokan atau energy security, keberlanjutan lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi. Bioenergi adalah jawaban paling konkret bagi Indonesia karena bahan bakunya tumbuh di tanah kita sendiri. Namun, kita harus memastikan bahwa transisi ini inklusif. Prinsipnya adalah no one left behind, di mana petani dan masyarakat daerah harus menjadi pemain utama, bukan sekadar penonton," ujar Jay Aryaputra Singgih.

Visi keadilan energi ini diperkuat oleh Ketua DPD RI, Sultan Bachtiar Najamudin, yang memperkenalkan konsep terobosan bernama Green Democracy. Ia mendorong agar kebijakan energi tidak lagi tersandera oleh mekanisme pasar semata, melainkan harus berpihak pada daerah penghasil.

"Saya menawarkan konsep Green Democracy, sebuah pandangan bahwa kebijakan energi harus menghadirkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial bagi daerah. DPD RI mendorong pembentukan Dana Investasi Bioenergi Nasional dengan skema blended finance. Kita butuh insentif fiskal khusus agar investor memiliki bantalan risiko atau risk cushion yang cukup saat masuk ke wilayah yang infrastrukturnya belum mapan. Transisi energi hanya akan berhasil jika daerah penghasil biomassa menikmati nilai tambahnya secara langsung," beber Sultan.

Dari sisi korporasi energi, Direktur Keuangan Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE), Mirna Wijayanti, mengakui bahwa biaya modal (cost of capital) proyek energi bersih masih menjadi tantangan utama karena dianggap berisiko tinggi oleh perbankan.

"Realitas di lapangan menunjukkan bahwa proyek energi bersih sering dianggap berisiko tinggi oleh lembaga keuangan, yang berimbas pada tingginya bunga pinjaman. Strategi kami adalah unlocking value melalui perdagangan karbon dan kemitraan strategis global. Kami berupaya mendapatkan pendanaan hijau (green financing) dengan bunga lebih rendah agar keekonomian proyek tetap terjaga dan kompetitif," jelas Mirna.

Senada dengan itu, Direktur Biomassa PLN Energi Primer Indonesia, Hokkop Situngkir, menegaskan komitmen PLN dalam membangun ekosistem biomassa dari hulu ke hilir untuk program co-firing PLTU.

Baca Juga: Peta Jalan Baru Indonesia Lawan Perubahan Iklim Hampir Siap, Seperti Apa Targetnya?

Menurutnya, tantangan terbesar adalah menjaga kontinuitas pasokan dari ribuan pemasok kecil.

"Kami tidak hanya berbicara tentang membakar biomassa di PLTU, tetapi membangun ekosistem. PLN EPI sedang memperbanyak pengembangan sentra-sentra biomassa atau biomass hubs di berbagai daerah. Ini menciptakan sirkular ekonomi kerakyatan. Tantangan kami adalah memastikan pasokan yang kontinu dan standar kualitas yang terjaga dari ribuan pemasok kecil, dan di sinilah kami butuh dukungan pendanaan rantai pasok," kata Hokkop.

Menjawab kebutuhan tersebut, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Ernest Gunawan, menyuarakan aspirasi para produsen. Baginya, kepastian regulasi adalah jaminan investasi yang paling fundamental.

"Industri biodiesel Indonesia sudah siap dan terbukti mampu mendukung mandatori pemerintah. Namun, untuk ekspansi kapasitas pabrik dan peremajaan teknologi, kami membutuhkan konsistensi kebijakan jangka panjang. Investor butuh jaminan bahwa peta jalan atau roadmap bioenergi tidak akan berubah-ubah di tengah jalan, sehingga kami bisa menghitung pengembalian investasi dengan akurat," tutur Ernest.

Sinyal positif datang dari sektor perbankan. Perwakilan Divisi Corporate Banking BNI menyatakan bahwa perbankan nasional telah siap dengan kerangka kerja Green Banking untuk mendukung proyek-proyek berkelanjutan, termasuk skema pembiayaan rantai pasok.

"Perbankan saat ini sudah jauh lebih adaptif. Kami di BNI memiliki kerangka kerja Green Banking yang jelas dan siap memberikan fasilitas pembiayaan rantai pasok (supply chain financing) bagi mitra korporat yang memenuhi kriteria ESG. Kami melihat bioenergi bukan lagi sebagai beban, melainkan portofolio masa depan yang harus kami dukung dengan skema yang pruden namun suportif," ungkap perwakilan BNI dalam sesi tersebut.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI