- Satu bulan pasca-banjir di Aceh Tamiang, warga seperti Tety Dian Hayati kesulitan memulihkan toko akibat lumpur tebal dan minimnya bantuan.
- Kebutuhan mendesak warga meliputi pasokan air bersih dan listrik stabil, mendorong sebagian keluarga memilih mengungsi sementara.
- Penurunan signifikan bantuan pangan rutin memaksa warga bertahan dengan keterbatasan, ditambah adanya beban iuran pembersihan di beberapa lokasi.
Beban Tambahan di Tengah Krisis
Di tengah kondisi sulit, muncul beban lain yang membuat warga tertekan. Di salah satu perumahan, warga disebut wajib membayar iuran hingga Rp2 juta per kepala keluarga untuk pembersihan lumpur.
Uang tersebut digunakan untuk mereka menyewa alat berat dan truk pengangkut lumpur. Angka yang terasa berat, terutama bagi mereka yang kehilangan penghasilan akibat banjir.
Gotong royong memang berjalan, namun tanpa dukungan alat berat dan bantuan berkelanjutan, pembersihan lumpur diperkirakan bisa memakan waktu.
Aceh Tamiang hari ini bukan hanya tentang rumah yang terendam, tetapi tentang ketahanan warga yang diuji setiap hari.
Tentang orang tua yang tetap berjalan jauh demi usaha, anak-anak yang harus berbagi satu kotak nasi, dan masyarakat yang saling membantu di tengah keterbatasan.
Hampir sebulan berlalu, namun bencana belum benar-benar pergi. Air bersih, listrik, alat pembersih, dan bantuan pangan masih menjadi kebutuhan utama.