Quo Vadis Komite Otsus Papua?

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Rabu, 22 Oktober 2025 | 11:19 WIB
Quo Vadis Komite Otsus Papua?
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang, Cusdiawan. (Foto dok pribadi/ Suara.com)
Baca 10 detik
  • Jika pemerintah masih mengedepankan pendekatan militerstik, maka pembentukan komite otsus ini tidak akan bermakna apa-apa.
  • Pendekatan militeristik hanya akan menghasilkan dendam sejarah yang berkepanjangan.
  • Tanah bagi masyarakat adat bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materiil hidup, tetapi juga bernilai secara spiritual.

Suara.com - Pemerintah secara resmi membentuk Komite Eksekutif Percepatan Otonomi Khusus Papua, yang secara garis besarnya ditujukan untuk mengefektifkan agenda pembangunan di daerah tersebut.

Pembentukan komite ini memang menuai polemik di ruang publik, baik dari sisi potensi terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan badan lain, hingga soal komposisi anggotanya.

Namun, terlepas dari polemik tersebut, penulis menilai bahwa Komite yang diberi tugas untuk mengefektifkan penyelesaian masalah di Papua ini memiliki tantangan dan pekerjaan yang serius. Paling utama adalah, mendorong perubahan terkait tata kelola pembangunan Papua yang harus betul-betul menjadikan aspek antropologis-sosiologis dan historis sebagai variabel penting, juga perubahan dalam penanganan untuk meredam gejolak yang terjadi.

Pendekatan Militeristik, Relevankah?

"Selama ini pemerintah cenderung menggunakan pendekatan militeristik untuk mengatasi masalah Papua, terutama soal isu seputar konflik dan disintegrasi."

Tantangan dan “pekerjaan rumah” pertama bagi komite tersebut adalah, mendorong penyelesaian masalah konflik di Papua dengan mengedepankan pendekatan dialogis, serta mendasarkan pada relasi yang bersifat intersubjektif.

Jika pemerintah masih mengedepankan pendekatan militeristik, maka pembentukan komite otsus ini tidak akan bermakna apa-apa, selain menambah pengeluaran negara.

Pemerintah perlu melakukan evaluasi secara serius dan menyeluruh terkait cara dan pendekatan yang selama ini digunakan untuk mengatasi masalah Papua tersebut.

Dalam hemat penulis, pendekatan militeristik hanya akan menghasilkan dendam sejarah yang berkepanjangan, yang bukan hanya bisa memakan korban sipil tetapi juga aparat itu sendiri, dan dapat terus menaikkan eskalasi konfliknya, alih-alih meredamnya.

Baca Juga: Gugat Otsus Papua, Aktivis: Pasal Ini Hilangkan Hak Politik Orang Asli

Redistribusi dan Rekognisi

Selain mengedepankan pendekatan dialogis untuk mengatasi konflik di Papua, hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah masalah tata kelola pembangunannya.

Jelas, untuk masalah pembangunan Papua, sangat memerlukan kehati-hatian dan tidak mengabaikan kompleksitas yang ada.

Pada satu sisi, kita memang tidak boleh melupakan masalah politik redistribusi, karena isu Papua berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan dan ketimpangan.

Namun, hal lain yang tidak kalah penting adalah masalah politik rekognisi, karena erat terkait masalah pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak kultural.

Dua aspek ini harus menjadi perhatian utama, karena selama ini, isu marjinalisasi terhadap Papua bukan hanya menyoal ketimpangan, tetapi juga diskriminasi terhadap budaya.

Cara pandang di atas, mengandung implikasi bahwa negara pun perlu mengoreksi dan atau mengevaluasi berbagai program kebijakan yang bisa meminggirkan dua aspek tersebut.

Terlebih lagi, tuntutan akan dua aspek tersebut, dewasa ini memang menjadi bagian penting dalam politik kewargaan, sebagaimana yang bisa kita jumpai dalam perdebatan Nancy Fraser dan Axel Honneth dalam Redistribution or Recognition: a Political-Philosophical Exchange (2003).

"Dengan demikian, tata kelola pembangunan di Papua tidak boleh mengabaikan dua aspek di atas. Hanya dengan cara inilah, legitimasi negara berpotensi semakin menguat di Papua."

Dampak kekeringan di Kabupaten Lanny Jaya [BPNB]
Ilustrasi warga di Kabupaten Lanny Jaya terdampak kekeringan. [Dok. BPNB]

Kita harus ingat, bahwa nasionalisme bisa tumbuh subur bukan dengan bedil senjata, ataupun jargon NKRI harga mati, melainkan mekar karena merasa ada persamaan nasib.

Dalam konteks hari ini, perasaan senasib bisa dimunculkan dengan terpangkasnya ketimpangan wilayah antara Papua dengan lainnya, juga penghormatan dan pengakuan atas kekayaan kultural mereka.

Dengan menggunakan dua aspek tersebut sekaligus, sebagai pendekatan dalam melakukan pembangunan di Papua, memungkinkan juga bagi negara untuk lebih memahami kompleksitas masalah pembangunan di sana.

Termasuk lebih berhati-hati dalam mendefinisikan kesejahteraan itu sendiri, yang bisa jadi, bagi orang Papua, justru masalah kultural adalah hal yang tidak terpisahkan dan bersifat esensial.

Evaluasi Proyek Pembangunan Papua

Dalam hemat saya, langkah penting lainnya yang perlu dilakukan oleh komite otsus tersebut, yakni mendorong agar negara melakukan review ulang atau evaluasi atas pembangunan yang saat ini tengah berlangsung di Papua.

Salah satu contohnya adalah, kebijakan proyek strategis nasional yang memangkas hutan adat masyarakat Papua. Hal itu justru kontradiktif dengan yang dicita-citakan oleh Otsus sendiri.

Kita tahu bahwa tujuan dibentuknya otsus di Papua adalah untuk menguatkan legitimasi negara, dan yang diandaikan kemudian bisa meredam potensi konflik yang ada.

Perlu diingat, bahwa alih fungsi hutan bagi masyarakat adat Papua tidak hanya bermakna terhadap peminggiran hak-hak ekonomi mereka, tetapi sekaligus hak kulturalnya.

Tanah bagi masyarakat adat bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materiil hidup, tetapi juga bernilai secara spiritual. Mengabaikan masalah ini, justru hanya akan menghasilkan krisis legitimasi yang semakin besar dari masyarakat Papua terhadap negara.

Mencerabut masyarakat adat Papua dari tanah mereka, akan dimaknai juga sebagai melepas martabat kemanusiaan mereka. Negara perlu memiliki sensitivitas yang tinggi untuk menyikapi masalah ini.

Dengan demikian, besar harapan penulis bahwa adanya komite otsus ini, terlepas dari perdebatan yang ada, mampu mendorong perubahan yang serius dalam mendekati masalah Papua, terutama tidak mengabaikan kajian-kajian yang mendasarkan pada perspektif antropologis-sosiologis maupun historis.

Bagaimanapun kekeliruan dalam menangani persoalan Papua, harus menjadi refleksi dan perhatian kita bersama. Sebab, jika kekeliruan itu terus berlanjut, justru dapat semakin menguatkan nasionalisme Papua—bukannya nasionalisme Indonesia—karena disatukan oleh memoria passionis, yakni sejarah penderitaan Papua.

Cusdiawan

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang.
Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI