Suara.com - Pada Minggu malam pekan lalu, Stuart Dalgleish, seorang warga Kota Melbourne, Australia, tiba-tiba tersadar akan melanggar hukum jika dia melangkah keluar dari pagar rumahnya.
Stuart bukan seorang penjahat. Bukan buronan yang dicari polisi. Dia hanya seorang yang kebetulan tinggal di ibukota negara bagian Victoria tersebut.
Begitu pemerintah menetapkan berlakunya jam malam pada 2 Agustus, sekitar 5 juta penduduk metropolitan Melbourne mendapati dirinya seakan hidup dalam distopia.
Polisi kini giat berpatroli di jalan-jalan, dibekali kewenangan tambahan, termasuk memecahkan kaca mobil orang yang menolak ditanyai identitasnya.
Pengumuman pemerintah tentang virus Corona bergaung di tempat-tempat umum, termasuk di stasiun kereta yang kebanyakan kosong.
Pemeriksaan dari rumah ke rumah dilakukan aparat polisi dibantu tentara.
Bagi mereka yang berkeliaran antara jam 8 malam hingga jam 5 pagi, harus dibekali dokumen sah yang membuktikan bahwa mereka diizinkan keluar.
"Tak ada bedanya karena toh kita sudah hidup seperti itu selama beberapa lama. Jadi tidak ada perubahan nyata," ujar Stuart.
"Namun rasanya aneh karena saya sadar akan melanggar hukum gara-gara keluar rumah," tambahnya.
Baca Juga: Pecah Kaca Mobil, Pencuri Gasak Rp 259 Juta Duit Perusahaan di Mojokerto
Bagi warga Melbourne, jam malam merupakan hal asing, sama dengan kopi bercita rasa buruk.
Belum diketahui seberapa efektif jam malam ini, namun sejumlah pihak memperingatkan justru bisa memiliki konsekuensi yang tak diinginkan.
Hanya warga Melbourne yang masih harus bekerja yang boleh keluar rumah setelah jam 8 malam.
Sejarah jam malam di Australia
Sebelumnya sudah pernah ada jam malam di Australia, meskipun tak seperti yang terjadi di Melbourne saat ini.
Di masa lalu, jam malam diterapkan sebagai alat rasisme untuk mengusir orang Aborigin dari kota-kota pada malam hari.