Suara.com - Di sebuah sudut desa di Kediri, Jawa Timur, hidup seorang pria yang tak membiarkan gelapnya dunia meredupkan semangatnya.
Soni Primawanto, seorang tuna netra sejak usia tiga tahun, telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya dan berbagi ilmu.
Justru dari keterbatasan itulah ia menemukan jalan dakwahnya.
Perjalanan Menghafal Al-Qur’an di Tengah Keterbatasan
Sejak kecil, Soni tak bisa menikmati dunia sebagaimana anak-anak lain. Panas tinggi yang menyerangnya di usia tiga tahun membuatnya kehilangan penglihatan.
Namun, di tengah dunia yang sunyi tanpa warna, ia menemukan cahaya dalam lantunan ayat-ayat suci.
Tidak memiliki kesempatan belajar huruf braille sejak dini tak membuatnya menyerah.
Dengan mengandalkan pendengaran, ia mulai menghafal Al-Qur’an sedikit demi sedikit, menyimpannya dalam ingatan.
Hari-hari kecilnya banyak dihabiskan di pesantren. Ketika anak-anak seusianya sibuk membaca buku atau bermain di lapangan, Soni duduk di sudut mushala.
Baca Juga: Gratis! Tur Sejarah Kota Tua Jakarta Spesial Ramadan: Ada Rute Pecinan & Kampung Arab
Mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan saksama, lalu mengulanginya hingga hafal. Tanpa disadari, ingatannya semakin kuat, membuatnya mampu menghafal ayat-ayat suci dengan lancar.
Menggapai Ilmu dan Keterampilan
Hidup bukanlah kisah yang lurus tanpa tantangan. Soni sempat kesulitan untuk mengenyam pendidikan formal.
Hingga akhirnya, pada akhir tahun 2002, perangkat desa memberinya kesempatan untuk belajar di Malang.
Di sanalah ia pertama kali mengenal huruf braille. Hari-hari awalnya berat, namun Soni tak gentar.
Ia belajar dengan penuh semangat, meresapi setiap huruf yang disentuhnya.