Selain belajar membaca, ia juga diajari keterampilan memijat. Keterampilan itu kelak menjadi mata pencahariannya.
Tak hanya berhenti di situ, keahliannya membawanya hingga ke Jakarta sebagai salah satu lulusan terbaik.
Dari Jakarta, ia bekerja berpindah-pindah ke berbagai kota seperti Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, sebelum akhirnya kembali ke Malang dan membuka praktik pijat refleksi sendiri.
Meski mengandalkan jasa pijat sebagai sumber penghasilan, Soni tak pernah memasang tarif tinggi.
“Seikhlasnya,” katanya.
Baginya, kebahagiaan bukan terletak pada nominal yang diterima, tetapi pada manfaat yang ia berikan kepada orang lain.
Amanat dari Sang Guru
Suatu hari, kabar duka datang dari kampung halamannya. Sang guru yang membimbingnya sejak kecil telah wafat.
Soni tak bisa tinggal diam. Ia merasa ada panggilan untuk kembali.
Baca Juga: Gratis! Tur Sejarah Kota Tua Jakarta Spesial Ramadan: Ada Rute Pecinan & Kampung Arab
Sebelum meninggal, gurunya berpesan agar ia menjaga pesantren salaf yang telah lama menjadi tempat menimba ilmu bagi santri-santri dari berbagai daerah.
Pesantren itu kini sepi. Tidak ada lagi lantunan ayat-ayat suci yang menggema seperti dulu.
Bangunannya yang telah berumur puluhan tahun berdiri kokoh, tetapi sunyi. Soni tahu, ia tak bisa membiarkan warisan ilmu itu hilang begitu saja.
Dengan tekad bulat, ia membawa serta istri dan anaknya kembali ke Kediri.
Mereka menempati bangunan pesantren yang luas, menjadikannya rumah sekaligus tempat pengabdian.
Dengan penuh tanggung jawab, Soni mulai menghidupkan kembali suasana pesantren, mengajak anak-anak di sekitar untuk mengaji.